Eighth Coupon Redeemed (2)

2.1K 245 32
                                    

(mature content)

*

Setelah mendengar cukup banyak penolakan dari Ata, Kafka berakhir mendapatkan perempuan itu bersamanya di dalam bilik pancuran air yang beruap hangat. Apabila tidak sakit dan mampu berdiri satu menit tanpa berpegangan pada logam di sisi kanan bilik ini, mungkin sekarang adalah waktu yang tepat.

Atau mungkin juga tidak, mengingat hanya dirinya yang tanpa busana, sementara Ata berpakaian lengkap. Masih dengan blus putih tulang dan celana kain cokelat susu yang membuat kakinya tampak lebih jenjang.

"Seharusnya kamu lepas bajumu sebelum masuk."

Kafka menunduk dan merendahkan bahu saat Ata mendekat setelah menuang sampo di telapak tangan kirinya. Lebih dulu menutup pancuran air, Jemari Ata lantas memijat lembut kulit kepalanya. Memejamkan mata, Kafka merasakan serbuan rasa nikmat yang sukar diungkapkan. Detik itu, Kafka bersumpah tetap mau keramas saat sakit apabila perempuan itu yang melakukan untuknya.

"Aku cuma bantu kamu mandi, bukan mau ikut mandi, Kafka Sayang," timpal Ata, masih dengan kesabaran yang segudang, padahal sejak masuk ke kamar mandi ia terus menyeletuk sesuatu yang dapat menguji kesabaran orang paling sabar sekalipun. "Air hangatnya cukup segini? Atau kamu masih kedinginan?"

Selama sesaat yang sinting, Kafka bahkan lupa dirinya ia sempat menggigil ketika air hangat menyiramnya beberapa detik lalu. Meski bilik kamar mandi ini masih beruap dan pandangannya terhalang, ia yakin baru saja melihat bukti gairah Ata pada manik mata perempuan itu. Saat ini, tidak ada yang lebih bisa membuatnya fokus Ata dan dan ketenangan perempuan itu, padahal Kafka berdiri di depannya tanpa satu lembar pakaian pun. Ia bertanya-tanya, bagaimana Ata mengatasi gairah yang sempat terlihat di wajahnya, di sentuhan-sentuhannya pada Kafka, dan di napasnya yang terasa berat?

"Kaf ...." Suara Ata yang terdengar sedikit lebih serak itu memaksa Kafka meninggalkan imajinasi liar dan kubangan gairah panas.

Kafka mengerjap dan masih melihat Ata di depannya, kali ini sambil menuang sabun cair di telapak tangan. "Hm?"

"Barusan aku nanya, apa air hangatnya cukup segini?" Ata menatap Kafka sembari mulai menggosok bahunya, turun ke lengannya, kemudian ke dadanya. Kafka menghitung mundur, terkesiap saat jemari terampil perempuan itu mengusap perut bawahnya, pinggulnya, dan mulai turun ke area paling privat yang tersembunyi di antara pangkal pahanya. Ata, yang semula menunduk, kali ini membawa kembali tatapannya pada Kafka. Kecemasan tergambar samar di wajah merona perempuan itu. "Are you okay? Kamu pusing lagi? Kayak tadi pagi? Harusnya tadi kamu mandi di—"

"Aku pusing karena kelihatannya aku sendiri yang turn on di sini."

Ata mengerjap. Jemarinya berhenti di pinggul Kafka. Itu sentuhan yang terasa sangat sinting karena terpikir olehnya untuk bercinta di sini, dengan kondisi tubuh yang belum pulih sepenuhnya.

Selama beberapa detik yang tegang dan panas oleh gairah serta sisa-sisa uap, Kafka berpandangan dengan Ata, menyelami manik mata perempuan itu untuk mencari sendiri jawaban yang ia mau.

"Aku cuma nggak ngasih tau kamu." Serak dalam suara Ata makin nyata. Tangan Ata pindah ke dadanya, mengusap-usapnya lembut. Kelihatannya itu usaha untuk meredam apa pun yang menyala di antara mereka, nyatanya tidak begitu. Kafka justru makin bergairah dan tersiksa. Ini bukan kali pertama, kecuali perihal ia tidak mungkin mandi air dingin. "Sebaiknya kamu berhenti mikir sesuatu yang nggak bisa kamu lakuin sekarang. Jujur, aku nggak bakal setuju."

"You just seduced me, Love," balas Kafka langsung. Setelah cukup yakin tidak akan luruh ke lantai apabila melepas satu tangannya dari pegangan logam, Kafka meraih pergelangan Ata untuk ia genggam. Berusaha mengurangi sesedikit mungkin sentuhan perempuan itu. "Nggak adil kalau—"

Fiance #2 (on hold)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang