*
Kafka memeriksa smartwatch di pergelangan tangan kirinya. Pukul tujuh pagi. Memutuskan sudah cukup olaharaganya pagi ini, Kafka beranjak dari yoga mat setelah melakukan beberapa peregangan untuk menstabilkan kembali detak jantungnya dan melemaskan otot-ototnya yang bekerja keras dua jam terakhir.
Membuka ruang kebugaran, Kafka disambut aroma pepohonan dan bunga-bunga yang bermekaran di taman. Begitu sulit mendapatkan udara dan suasana segar seperti ini di Jakarta. Papanya membayar mahal untuk mewujudkan keinginan mamanya itu. Selain membangun ruang kebugaran pribadi dengan peralatan lengkap dan sirkulasi udara terjaga, papanya juga menjadikan area kosong di samping bangunan utama rumah ini sebagai taman dengan pohon-pohon tinggi dan bunga-bunga berbagai warna. Di samping ruang kebugaran, yang posisinya menjorok ke belakang dan menghubungkan dengan kolam renang di samping rumah yang lain, papanya membangun paviliun untuk tempat tinggal para asisten rumah tangga, tukang kebun, dan sopir yang belum berkeluarga.
Desain seperti ini yang diinginkan Kafka untuk rumahnya nanti. Namun, setelah beberapa kali menghitung, tidak memungkinkan apabila ia memisahkan ruang kebugaran dengan rumah utama, mengingat ia juga ingin punya kolam renang pribadi. Sebidang tanah yang diberikan papanya pada Kafka tidak seluas tanah rumah ini.
Area rumahnya masih sepi. Pekan ini, kakak-kakaknya tidak datang. Semua sibuk dengan urusan masing-masing. Apabila tidak ada kegiatan atau undangan yang mengharuskannya keluar rumah pada akhir pekan, mama maupun papanya akan memulai hari di atas pukul tujuh pagi. Saat menyeberangi taman untuk menuju bangunan utama, Kafka hanya bertemu tukang kebun yang baru selesai menyapu dan seorang asisten rumah tangga yang tengah menata kerupuk mentah di tampah-tampah untuk dijemur di area terbuka dekat paviliun.
"Pagi, Sayang."
Menoleh, Kafka mendapati mamanya memasuki ruang makan. Kontan, ia tersenyum. "Pagi, Ma. Mau ke gym?"
"Nggak, Mama baru selesai yoga di atas." Mamanya mengecup pipi Kafka, lantas melintasi meja untuk mengisi tumbler dengan air dari dispenser. "Ata mana? Masih tidur?"
Mamanya bertanya santai. Kafka tau hal itu tidak akan mengubah persepsinya terhadap Ata. Di rumah ini, siapa pun bebas bangun siang—siang dalam jam rumah ini berarti di atas pukul tujuh pagi. Baik mama maupun papanya begitu fleksibel. Menurut mereka, yang terpenting dari berkeluarga adalah memahami satu sama lain. Menyediakan ruang kebugaran pribadi dengan peralatan lengkap dan atap rumah yang luas untuk mengakomodasi kegiatan yoga merupakan cara-cara yang dilakukan orang tuanya. Siapa pun bisa menggunakan, tetapi tidak pernah ada paksaan untuk menggunakannya.
Kafka mengangguk sembari meletakkan tumbler kosong pada bak pencuci piring. "Ata masih capek, Ma. Kemarin, aku sama Ata golfing sampai siang. Waktu di resor, dia nggak tidur karena nungguin aku tidur, takut ketinggalan pesawat."
Sebetulnya, pagi ini Kafka tidak punya keinginan untuk melakukan apa-apa selain bergelung di ranjang bersama Ata. Pekan ini, ia sudah cukup sibuk, tidak perlu ditambah dengan melakukan kegiatan yang melelahkan di hari Minggu. Terlebih ia memiliki satu kupon yang dapat mengakomodasi keinginan itu. Namun, ketika terbangun pukul lima pagi, Kafka merasa tubuhnya kelelahan. Persendiannya ngilu. Melakukan penerbangan bolak-balik dalam satu hari, bermain golf berjam-jam, dan berenang di resor harus dibayar dengan pegal-pegal pagi ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Fiance #2 (on hold)
FanficSetelah enam tahun berpacaran, hingga berganti status menjadi tunangan Kafka, Ata masih merasa hidup di negeri dongeng yang tak punya jalan keluar. Setelah enam tahun berpacaran, hingga berganti status menjadi tunangan Ata, Kafka masih merasa bermim...