Extra - Curt (2)

581 37 3
                                    

Seminggu berlalu setelah Lara sadar dari koma. Awalnya ia tidak mengenali aku dan orang tuanya. Tetapi perlahan ingatan kembali dan kondisinya semakin membaik. Yang paling membuatku senang, dokter mengatakan jika ia dapat sembuh total tanpa ada cacat fisik akibat benturan di kepala yang dialaminya.

Mengingat kembali kecelakaan yang kami alami saat ditabrak orang suruhan Alex, membuatku marah. Seandainya saja Alex masih hidup, aku akan membunuhnya dengan kedua tanganku. Menyiksanya perlahan hingga ia menyesal sudah membunuh orang tuaku dan mencelakakan Lara.

"Ini buket bunga yang Bapak pesan" Peter membuka pintu dan memperlihatkan buket bunga yang ku pesan di toko bunga dekat rumah sakit.

"Terima kasih" aku mengangguk pada Peter tanda puas dengan keindahan bunga yang dirangkai.

Peter meletakan hati-hati buket bunga di kursi sebelahnya. Lalu mengemudikan mobil kami ke rumah sakit tempat Lara di rawat.

"Kamu tunggu di sini" perintahku pada Peter setelah aku keluar dari mobil di tempat parkir rumah sakit dengan tongkat menompang kakiku.

"Baik, Pak" ucap Peter berdiri di sampingku. Lalu memberikan buket bunga di tanganku.

Aku berjalan dibantu dengan tongkat dengan pelan. Memikirkan perkataan yang harus kuucapkan kepada Lara. Setiap langkah kakiku menuju ruang Lara di rawat, detak jantungku berdegup kencang. Hari ini aku bertekad untuk menyatakan cintaku lagi padanya. Berharap ia mau menerimaku.

Semakin dekat ke kamar Lara di rawat semakin berdebar detak jantungku. Gugup, senang dan takut. Semua bercampur jadi satu. Pikiran negatif terus membayangiku.

Bagaimana jika Lara tidak mau menerimaku? Begitu banyak kebohongan dan rahasia ku sembunyikan darinya. Begitu banyak kesalahanku padanya. Apa ia masih mencintaiku?

Meski selama seminggu aku menemaninya tetapi kami tidak pernah membicarakan perasaan atau hubungan kami lagi. Kesalahan itu memang ada padaku karena aku tidak berani menghadapinya. Setiap kali ia ingin berbicara mengenai kami ataupun mengenai Alex, aku selalu menghindar dengan dalih ia tidak boleh berpikir keras agar kondisi pulih kembali.

Hanya beberapa langkah ke kamar Lara di rawat, aku menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya. Pertama kalinya seumur hidup merasakan gugup amat sangat. Aku menyiapkan hatiku berjalan mendekati pintu kamar.

"Lara, berkali-kali mami bilang kamu dan Curt tidak bisa bersama. Status kita berbeda darinya. Apalagi ia sudah kembali ke keluarganya" suara Sandra terdengar di celah pintu yang sedikit terbuka saat aku berdiri di depan ruangan Lara dirawat.

"Lara, mamimu benar. Walaupun Curt selalu menemani kamu saat kamu sakit bukan berarti Curt dan kamu bisa seperti dulu lagi" bujuk Hardy mendukung Sandra agar Lara menjauhiku.

"Tapi Lara sayang dengan Curt, pi, mi" Rasa senang meluap di hatiku mendengar Lara masih sayang padaku.

"Lara, mami ga mau kamu berharap terlalu tinggi untuk bersama Curt. Meski ia baik tetapi belum tentu keluarganya setuju"

Tidak, Aku harus cepat menghentikan mereka sebelum mereka berhasil membujuk Lara untuk membunuh perasaannya padaku. Aku mengetuk pintu sebelum masuk ke dalam.

"Curt" Lara menatapku dengan kondisinya yang masih lemah. Air mata jatuh di pipinya membuatku terkejut.

Aku berusaha berjalan dengan cepat. Mengutuk kakiku yang masih sakit. Aku ingin cepat berada di sisinya. Mengusap air matanya. Memeluknya. Menyakinkan jika aku masih hidup. Aku baik-baik saja.

"Jangan menangis" Ucapku setelah berada di sampingnya. Sayang, air mata Lara lebih dahulu diusap oleh Sandra.

Sandra memberi tatapan tajam padaku. Aku tahu ia tidak suka jika aku mendekati Lara. Kalau bukan karena Hardy, ia tidak akan mengizinkanku menemani Lara selama Lara tidak sadarkan diri sampai hari ini aku menemui Lara. Ia tidak akan sungkan mengusirku.

SecretsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang