Pagi hari tiba, Affandy dan Hulya sama sekali tidak berbicara. Lebih tepatnya Hulya lah yang mendiamkan pria itu. Affandy sudah duduk rapi bak seorang raja. Dia sedang menunggu wanita itu selesai memasak sarapan pagi.
"Pagi, Ma."
Liya tersenyum. Ia mengambil posisi duduk di depan menantunya. "Tadi malam kamu kemana?"
"Eummm–"
"Mas Affan katanya nyasar, Ma. Makannya lama sampai di rumah." Seorang wanita menjawab pertanyaan tersebut. Affandy bernafas lega karena sudah dibantu oleh istrinya.
"Lain kali kalau bertengkar jangan sampai gitu Hulya. Kasian suami kamu nggak tau jalan."
"Hehehe ... Iya, Ma. Hulya mengaku salah."
Liya mengernyitkan dahinya. "Kenapa sama kaki kamu. Kok jalannya aneh gitu?"
Hulya panik, dia tidak tau harus berkata apa. Karena kakinya memang sedang sakit akibat ulah pria itu yang melakukan kekerasan kepadanya. "Eummm ... Hulya kepeleset, Ma."
"Ya Tuhan. Kok bisa?"
"Ya bisa, Ma. Namanya juga kepeleset."
"Sebenarnya Hulya–"
"Mas mau apa?" tanya Hulya memotong ucapan suaminya. Ia menuangkan minuman di gelas sambil menutupi tubuh suaminya dari Liya.
"Jangan, Mas," lirih Hulya.
Saat ini Affandy merasa bersalah, beberapa kali Hulya sudah menolongnya. Namun ia juga bingung, perlakuan wanita itu sama sekali belum membuatnya luluh.
"Lengan kamu kenapa?"
Lagi, Hulya harus kembali berbohong. "Oh, tadi Hulya mimpi jatuh. Ternyata jatuh dari atas kasur, Ma."
"Itu gunanya suami. Makannya jangan jauh-jauh dari Affan." Liya terkekeh geli.
Baru saja Hulya duduk, wanita itu menoleh kearah samping ketika dibawah sana Affandy menggenggam tangannya. Tatapan Affandy begitu sendu, terlihat dia seperti ingin meminta maaf. Namun Hulya tidak juga ingin berbicara kepadanya.
Mereka sarapan pagi sambil menunggu kedatangan orangtua Liya dan tamu mereka tersebut.
"Nanti kita ke dokter ya." Affandy membuka suara.
"Lihat, suami kamu perhatikan gitu. Tapi kamu malah ngerjain dia tadi malam," ucap Liya.
"Nggak usah, Mas. Nggak apa-apa kok."
"Ikuti aja kata suami kamu. Nanti kualat lagi."
"Hulya nggak apa-apa kok, Ma. Nggak sakit."
[] [] []
Sudah hampir setengah jam Affandy duduk di teras rumah. Mereka hanya tinggal berdua saja karena Liya sudah pergi ke kantor. Affandy mulai merasa bosan, akhirnya ia memutuskan untuk menghampiri Hulya yang sedang sibuk di dapur.
"Hulya ..."
"Apa?"
"Ayo, ke dokter."
"Nggak, ah. Aku nggak apa-apa kok, nggak sakit juga."
"Maaf."
"Jangan di bahas lagi. Aku tau kamu nggak bermaksud melakukan itu. Kamu terpengaruh sama minuman."
"Sebenarnya aku ... Beberapa kali aku udah nyentuh kamu."
Hulya mematikan kran air dan menoleh kearah Affandy. "Aku tau Affan."
"Tau?" Affandy mengernyitkan dahinya. "Tau dari mana?"
"Pertama kali kamu melakukan itu. Kita sempet ke dokter 'kan, di situ aku tau karena aku udah periksa."
KAMU SEDANG MEMBACA
Tetesan Air Mata Surga
Spiritual"Affan, aku mau nafkah batin," pinta Hulya. "Kalau kamu mau nafkah batin. Aku bisa mencarikan pekerjaan buat kamu sebagai PSK, biar kamu bisa merasakannya." Pernikahan mendadak tanpa adanya pertemuan terlebih dahulu membuat kekacauan tersendiri dala...