DIS-2

24.5K 1.7K 84
                                    

Adelia's.



"Memangnya mereka tahu susahnya masyarakat itu seperti apa? Bilang membangun ini dan itu untuk kepentingan bersama. Kepentingan untuk siapa? Kepentingan yang mana? Jangan, lah, mengatasnamakan 'masyarakat' kalau pada kenyataannya keuntungan-keuntungan yang kalian umbar itu bukan untuk kami!"

Sorakan penonton di dalam studio seketika pecah. Membawa nama dan peran masyarakan ketika menghadapi politikus di acara talk show seperti ini memang akan membawa dampak dukungan yang jauh lebih besar.

Tapi, pasti bukan sorakan semacam ini yang diharapkan Ayah ketika selesai berbicara barusan.

Bukan untuk kami, Ayah bilang tadi.

Di depan banyak orang seperti ini dan tayangan yang disiarkan di seluruh negeri, aku sama sekali tidak pernah menyangka kalau Ayah akan sepercaya diri itu untuk mengeluarkan kalimat itu.

Aku memperhatikan satu per satu wajah narasumber lainnya yang duduk di dalam studio, sebelum kembali menatap wajah Ayah yang terlihat biasa-biasa saja meski narasumber lain mulai memberikan bantahan dan melempar perkataan yang menyudutkan posisi Ayah.

Ada beberapa yang bahkan terang-terangan menyeringai ketika menatap Ayah, menilai kalau apa yang dikatakan Ayah barusan cuma omong kosong belaka. Beberapa dari mereka bahkan menertawai 'kemurkaan' Ayah sebagai salah satu narasumber-pemerhati politik-yang diundang di acara talk showuntuk membahas tentang ARG yang dikatakan masih belum mencakup kebutuhan seluruh masyarakat.

"Udah gila kali, ya?"

Tawa-tawa mengejek juga bisikan-bisikan yang kudengar dari kru tv di area luar studio membuatku memejamkan mata, menahan emosi.

"Kenapa harus bawa-bawa nama masyarakat, sih?"

"Coba kasih kaca, deh."

What is he doing right now? Why did he have to sit there when it wasn't 'proper' for him to speak on behalf of society?

Furthermore, why should I be here, watching as other people openly mock my father?

"Don't hold it against me. I tried everything I could to stop him, but you know how 'servile' your father is, don't you?"

Seharusnya aku marah mendengar perkataan yang dibisikan Gilang-sepupuku sekaligus asisten Ayah-barusan. Mataku menatapnya tajam, membuat Gilang menggerakan tangan seperti memberi gestur mengunci bibir dan membuang kuncinya ke arah bawah.

Perasaan tersinggung yang aku rasakan tidak akan mengubah banyak hal, terlebih pada sosok pria paruh baya yang kini berteriak keras di tengah studio membicarakan mengenai kesetaraan dan keadilan bagi masyarakat. It's actually a somewhat amusing sight to behold.

"Tawarannya datang mendadak-" Aku kembali melayangkan tatapan tajam ke arah Gilang, menyuruh pria itu untuk berhenti membisikiku. "-semalam Ayah lo ditelpon langsung. Nggak penasaran memangnya?" bisik Gilang lagi sambil mendorong lenganku dengan lengannya.

Tanpa perlu diberitahu, sebenarnya aku sudah bisa menebak kenapa Ayah bisa berakhir menjadi salah satu nasumber di acara talk show semacam ini. Kejadian semacam ini bukan sekali-dua kali terjadi, tapi ini pertama kalinya untukku melihat Ayah 'bekerja' secara langsung.

Dan, jujur melihat langsung seperti ini ternyata jauh lebih sulit daripada menonton tayangan ulangnya di YouTube sambil melihat komentar-komentar jahat yang ditinggalkan orang-orang untuk Ayah di setiap kemunculannya di berbagai acara talk show seperti ini.

"The next-door show's guest has a big name and some serious issues. They need a significant distraction."

"Bukannya memang selalu gitu, ya?" balasku sarkas. Gilang terdengar menghela napasnya panjang. "That's all part of his job.Where is the unexpected part? What should I be interested in?" bisikku masih memperhatikan Ayah di dalam studio.

DISCONNECTED (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang