DIS-10

14.5K 1.6K 94
                                        

Adelia’s.

 
Apa keputusanku mengajak Narendra mengobrol salah, ya? Atau aku salah memilih timing?
 
Lebih tepatnya, sih, aku yang salah bicara…
 
“Gimana, Lia? Kok, sekarang jadi diam?” Aku menghela napas kasar, membuang pandangan ke arah lantai. “Jadi, setelah dengar semuanya dari saya, apa tuduhan itu datangnya memang dari kejadian nyata—berdasarkan apa yang kamu liat, atau cuma perasaanmu aja, Lia?” tanyanya mengulang pertanyaan yang sama.
 
Seharusnya bukan pembahasan ini yang kami bicarakan sekarang. Kalau saja, aku tidak memberikan kesempatan ke Narendra untuk kembali membahas masalah kami di Singapore, aku pasti masih bisa menatapnya dengan sama percaya dirinya—sama ketika aku mengajaknya untuk mampir ke apartemenku.
 
I don't know about your personal matters with Algis and Nana, and I don't want to get involved. Tapi, fakta kalau kamu ikut mengikutsertakan saya ke masalahmu itu sedikit mengganggu saya, Lia. Rasanya seperti dituduh ketika saya nggak punya masalah apa-apa dan nggak tahu apa-apa.”
 
Yeah, my overthinking is entirely to blame. Dari mana aku punya pikiran kalau Narendra mengetahui semuanya? Tentang kebencianku pada Algis dan Nana, perasaan iriku kepada mereka, juga bagaimana aku bisa berpikiran kalau Narendra menikmati semua penderitaanku yang mustahil pria itu ketahui?
 
Aku mendesah pelan, pandanganku kembali naik—sejajar dengan tatapan Narendra. “Aku harap kejadian kemarin nggak akan terulang lagi kedepannya.”
 
I wasn't expecting such a reaction from you.” Narendra mengangguk-anggukan kepalanya. “Can I be completely honest? I truly hate your current attitude, even more than your previous one of ignoring me all this time, Lia.
             
 Jujur, aku juga tidak mengharapkan reaksi semacam ini dari Narendra. Sebut saja, aku sudah keceplosan tadi dan aku tidak ingin Narendra tahu lebih banyak dari yang dia ketahui tadi secara tidak sengaja.

“I'm curious what was going through your mind at the time—how bad I was in your mind, huh?” Senyum yang diulas Narendra jelas kontra dengan ucapan tajam yang baru saja pria itu lemparkan padaku.
 
Jawabannya, sangat buruk. Aku bahkan sudah melabeli Narendra sebagai pria paling jahat setelah acara dinner di Singapore malam itu. Bukan cuma karena perkara adanya Algis dan Nana di sana, tapi juga tentang keterdiamannya saat orang tuanya mulai membandingkan-bandingkan aku dengan Nana.
 
Seharusnya malam itu aku sadar, Narendra bukan Algis. Narendra tidak punya sedikitpun perasaan kepadaku, dia tidak punya kewajiban untuk membelaku di depan orang tuanya karena ketidakmampuanku sendiri.
             
Aku menarik napas panjang dan mengeluarkannya pelan-pelan, “Oke. I apologize for my earlier accusations.”

Hm…” Narendra terlihat seperti tengah memikirkan sesuatu. Pria ini punya seribu cara untuk membuatku kesal, dan aku tahu dia tidak akan melewatkan kesempatan ini. “Menurutmu minta maaf aja sudah cukup, ya, Lia?” tanyanya, sesuai prediksiku sebelumnya.
 
Memang dia mau aku melakukan apa? Push-up? Berlari keliling komplek apartemen? “You really want to keep this conversation going, don't you?” tanyaku balik.
 
I'm not going to back down until I get what I want, Lia.” Masih dengan senyum yang sama lebarnya, Narendra menjawab.
 
Mataku mengerjap pelan, menatap Narendra sambil melongo—mungkin? Karena aku lihat di seberang meja Narendra terlihat menahan tawanya.
             
“Tenang. Saya nggak minta yang macam-macam, kok.” Tawa Narendra terdengar setelahnya. “Tapi, tergantung kamu juga, sih. Bisa nggak kamu diajak bicara baik-baik? Saya soalnya lagi butuh bicara sama Adelia mode ‘kerdil’ di depan Ibu Kanaya, atau mungkin saya bisa ketemu Adelia mode lainnya—apa pun—asalkan jangan yang ini,” ucapnya menunjuk ke arahku.
 
Tahan, Adelia…
 
“Kamu bilang apa tadi?” Kepalaku bergerak miring, merasa janggal soal permintaan Narendra barusan. “Mode kerdil di depan Mama, ya? Jadi, aku harus nurut, gitu? Pilihanku jadi dibatasi, gitu maksudnya?”
 
Kening Narendra tertekuk, ia menatapku heran. “Memang kamu mau nurut sama saya? Kalau pilihanmu dibatasi, kamu sama saya harusnya sudah menikah sekarang, dan mungkin kita sudah punya anak juga.” 
 
Pikiran macam apa itu? Sudah menikah dan punya anak? Sejauh apa pikiran Narendra setelah orang tua kami menyetujui ide perjodohan kami, sih?
 
“Selama ini kamu tahu nggak, sih, gimana sikap dan sifatmu waktu sama Ibu Kanaya, Lia?” Serius, nada lembut yang keluar dari mulut Narendra entah kenapa malah membuatku kesal bukan main. “Even if I don't know what you're thinking, at least when you're with Ibu Kanaya, you can be quiet and calm. Benar-benar diam yang mendengarkan, bukan diam yang biasa kamu kasih ke saya selama ini. Apa bisa saya dapat perhatian yang sama kayak Ibu Kanaya, Lia?”

DISCONNECTED (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang