Adelia's.
Aku yakin setiap manusia memiliki ketakutan. Mereka punya pilihan untuk menerima atau mencoba menghadapinya. Ada beberapa yang bisa dengan mudah mengatakan kepada yang lain, ada beberapa yang memilih menyembunyikannya.
Ada dari mereka yang memiliki keistimewaan semacam memiliki 'tempat' untuk menunjukkan atau memberitahu ketakutan mereka, ada yang harus memendamnya sendirian karena tidak memiliki keuntungan semacam itu.
Mereka punya pilihan.
Tapi, tidak denganku.
Atau sebenarnya aku punya pilihan, tapi aku tidak ingin menggunakannya.
Mama selalu mengatakan kalau menunjukan rasa takut ke orang lain, berarti membuka kelemahanmu ke mereka—menjadikanmu sasaran empuk untuk jadi target selanjutnya.
Jadi, aku menahan semuanya atau lebih baiknya disebut menyembunyikan semuanya.
Hanya aku yang tahu rasa takutku, hanya aku yang tahu rasa sakitnya, hanya aku yang tahu kelemahanku sendiri.
Dan, sejauh ini semuanya berhasil aku lakukan. Semuanya terlihat begitu natural. Pernikahan yang sedang kujalani, maksudnya.
Ya, pernikahan bersama Narendra masuk ke dalam list ketakutanku begitu kami memulainya sebulan yang lalu.
Meskipun, semuanya berjalan normal, aku masih merasa takut untuk memikirkan bagaimana kami akan menjalani hari kedepannya.
Ah, mungkin karena semuanya berjalan normal perasaan takut yang aku rasakan masih menempeliku ke mana-mana. Ya, harusnya semuanya tidak se-mulus ini. Soal orang tua kami berdua, dan soal aku dan Narendra sendiri.
"Sayang..."
Geraman pria itu di sela ciuman kami memberikan sesak yang luar biasa sakit di dadaku. Karena harusnya bukan panggilan itu yang dia sematkan untukku, harusnya kami tidak melangkah sejauh itu—atau lebih tepatnya, harusnya Narendra tidak melakukan itu—tidak bersama wanita yang tidak dia inginkan?
"Makanya, 'kan? Lo heran, gue lebih heran lagi! Ya, itu. Cewek memang banyak, and why should I end up with her?"
Itu, 'kan, yang Narendra bilang malam itu lewat sambungan telepon bersama salah satu temannya.
"Tsk, masih pagi juga!" Aku menatap jam dinding di dalam kamar Narendra yang masih menunjukkan jam 4 pagi.
Setelah menonton film tadi, niatku untuk tidur tidak benar-benar bisa aku lakukan, sementara Narendra sudah tertidur lelap begitu kepalanya bersandar di bantal.
Aku sudah mencoba untuk memaksakan mata untuk terpejam, tapi nyatanya 1 jam hanya aku habiskan untuk berpikir yang macam-macam—yang malah membuat kepalaku pusing bukan main sekarang.
Turun dari ranjang secara perlahan, aku menyempatkan untuk membenarkan letak selimut ke tubuh Narendra dan membawa dua piring kecil yang aku dan Narendra gunakan ke dapur.
Setelah mencuci bersih piring dan juga mangkok yang digunakan Narendra tadi, aku mengambil sebotol air putih dan memutuskan untuk duduk di ruang makan daripada harus kembali ke kamar hanya untuk berguling-guling tidak jelas.
Senyumku terulas pahit dan tipis saat mataku menangkap bungkusan spikoe yang masih tersisa di atas meja.
Sebelum mengambil salah satunya, aku bergegas mengambil piring kecil yang sebelumnya aku cuci dari dish rack.
Sudah beberapa kali aku nikmati, rasanya masih sama enaknya. Well, spikoe yang kubeli ini salah satu spikoe yang cukup terkenal di Surabaya yang sudah lama jadi langgananku setelah tahu dari Ibu Ema.
KAMU SEDANG MEMBACA
DISCONNECTED (COMPLETED)
ChickLitdisconnected /ˌdɪskə ˈ nɛktəd/ : not connected to something. Nothing matters to them except the other person's perception of themselves. Achievement, success, intelligence, and wealth are all things that both parties strive to "keep" in order for ot...