Narendra's.
"Selamat ulang tahun, ya, Pak." Setelah melepas singkat pelukan bersama Pak Gautama, gue ikut menjabat tangan pria paruh baya itu.
"Terima kasih, ya, Ndra!" Pak Gautama menepuk-nepuk punggung gue sekilas, lalu mengajak gue berkenalan dengan beberapa kenalannya yang malam ini datang ke pesta ulang tahunnya.
Untuk ukuran mantan politisi, nama 'Pak Gautama' masih cukup disegani meskipun skandal pemberitaan mengenai pernikahan sirinya pernah menghebohkan satu negara.
Bertempat di Primland Hotel Jakarta, Pak Gautama menyewa salah satu ballroom terbesar di salah satu hotel bintang 5 ini untuk perayaan ulang tahunnya yang ke 75 tahun. There are some familiar faces here, most of whom are from the political realm.
"Apa kabarnya?" tanya salah satu keponakan Pak Gautama—Abzar, salah satu pengusaha tambang—yang sudah gue kenal duluan dari Algis. "Saya kaget lihat kamu ada di sini, saya pikir kamu sudah nggak ada waktu lagi buat kumpul-kumpul begini."
Gue berdecak, melepas jabatan tangan bersama Abzar—tahu sekali maksud perkataan Abzar barusan. "Sibuk bolak-balik ke KPK, sih, memang," jawab gue ketus.
"Apes, ya, Ndra?" Gue mendengkus, melempar pandangan ke penjuru ballroom. "Saya pikir kamu bakalan tetap 'suci' sampai akhir, ternyata kesandung juga. Masalah dugaan korupsi lagi," katanya sambil menggeleng-gelengkan kepala.
Bukan apes lagi, sih, gue bilangnya. Bukan rahasia umum—di kalangan kami—orang-orang tahu gimana gue dan keluarga mencoba menjaga nama baik. Bokap bahkan terang-terangan menyuruh gue mundur dari dunia politik kalau sampai gue bikin masalah dan merugikan kami sekeluarga.
Tahu kalau gue orang yang berhati-hati di pekerjaan, jelas berita tentang dugaan kasus korupsi di project track race Kemenpora membuat kaget semua orang yang mengenal gue.
Kami berdua sempat menghentikan obrolan waktu Pak Gautama membawa kenalan lain untuk dikenalkan ke gue dan Abzar.
Karena situasi yang nggak mendukung, gue dan Abzar memutuskan untuk berjalan ke sudut ballroom—tempat yang aman untuk ngobrol tanpa harus diganggu. "Pak Arbitro gimana?"
"Biasa aja." Kedua bahu gue mengedik bersamaan. "Bapak, sih, maunya tahu beres aja. Nggak ada sisanya," jawab gue, mengarah ke bagaimana bokap menanggapi permasalahan yang menjerat gue sekarang.
Abzar yang berdiri di samping gue mengangguk-anggukan kepala. "Pak Edgar, 'kan, yang pegang kasus kalian? Ditinggal tidur juga bisa kali, Ndra."
"Ditinggal tidur, yang ada gue ketiduran terus, Zar." Omongan gue barusan malah membuat Abzar tertawa keras. "Yang ini susah dibuat tidur. Pak Edgar juga mati-matian mau lapor kemarin, Zar. Koneksinya orang CORE bukan orang-orang biasa." Gue sengaja memelankan suara.
"Udah tahu." Di luar dugaan, Abzar malah keliatan nggak kaget sama sekali. "Saya kenal, tuh, sama si Hakim. Anaknya, 'kan, kayak tengil begitu karena back-up-nya luar biasa."
Waktu tahu soal back up pihak CORE dari Pak Edgar 2 hari lalu, I felt as if I wanted to simply disappear from the world. Gue sempet heran karena tumben-tumbenan Pak Edgar nggak bisa 'membereskan' masalah ini secepat dia membereskan masalah lain, dan waktu gue tahu jawabannya—gue tau kalau semuanya nggak se-simple itu diselesaikan.
Abzar menyenggol lengan gue, menunjuk ke satu arah. "Orangnya Pak Darmawan, tuh." Gue sempat bingung dengan maksud perkataan Abzar. "Pak Gilang, Ndra," jelasnya membuat tatapan gue langsung mengarah ke pria berumur 59 tahun—salah satu ketua parpol yang hari ini juga ikut datang ke pesta ulang tahun Pak Gautama.
![](https://img.wattpad.com/cover/332579214-288-k81511.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
DISCONNECTED (COMPLETED)
Chick-Litdisconnected /ˌdɪskə ˈ nɛktəd/ : not connected to something. Nothing matters to them except the other person's perception of themselves. Achievement, success, intelligence, and wealth are all things that both parties strive to "keep" in order for ot...