Adelia's.
"Ternyata Pak Narendra kelihatan jauh lebih ganteng waktu ketemu langsung begini, ya!"
Dari balik gelas iced black coffee yang kupesan, aku hanya bisa mengulas senyum tipis mendengar sahutan dari Chika begitu Narendra-yang mendadak mendatangi meja kami-berjalan menjauh.
Tawa kecil kami menguar hampir di waktu yang bersamaan. Chika will remain Chika. Her outspoken personality is obviously difficult to manage, and to be honest, we're used to Chika's stance on that one.
Aku sendiri nggak begitu kaget waktu mengenal Chika dari Laras beberapa tahun lalu. Sosok Chika mengingatkan pada sosokku yang dulu.
"Tipe ideal lo berubah lagi? Dari bule ke cowok Jawa macam Narendra begitu?" Gaby menggelengkan kepala, merasa geli ketika mendapati Chika mencoba mengintai meja Narendra dan teman-temannya.
Mataku diam-diam mengikuti gerak-gerik Chika sebelum wanita itu kembali duduk dengan benar di kursinya. "To be more specific, nambah, sih," jawabnya sambil memangku dagu. "Well, laki-laki jawa nggak pernah masuk ke tipe ideal gue. Cuma, Pak Narendra bakal jadi pengecualian pertama gue, deh, Mbak." Tatapan wanita yang umurnya paling muda di antara kami itu terlihat menerawang.
"Warna kulitnya itu, loh..."
His skin tone is indeed exotic. Sawo matang. and it is ideal for him.
"Terus, bibirnya..."
His lips...
"Badannya itu, loh! Dada, bahu, sama punggungnya!"
His body is indeed big, larger than that of the average Indonesian man. Dada, bahu, dan punggungnya terlihat lebar-makin terlihat jelas saat dia menanggalkan jasnya dan menyisakan kemeja slim fitnya seperti tadi ketika dia menghampiri meja kami.
"Mana orangnya super ramah lagi! Senyumnya tadi pada liat, 'kan? Astaga!" Chika memukul meja dengan pelan, lalu menutup wajahnya gemas.
As he drew the corners of his lips together, he smiled with both eyes. His physical advantages on this one are undeniably appealing.
"Satu lagi, sih. Yang paling bikin iri..." Aku mengernyitkan kening, menunggu pujian macam apa yang akan terlontar dari bibir Chika. "Kenapa Pak Narendra harus ketemu dulu sama lo sih, Mbak!"
Senyumku terulas tipis, membuang pandangan ke sembarang arah-ke mana saja-asal bukan ke arah satu orang yang kini menatapku malas.
Bukannya tadi kita sedang membicarakan rencana untuk membuka usaha spa bersama, ya? Aku harus benar-benar putar otak untuk mengalihkan pembicaraan ini sebelum-
"Alasan apa yang ngebuat lo iri sama dia? Perkara kenal duluan sama Mas Narendra?" Ini yang aku takutkan. Kenapa Laras harus ikut menimpali ucapan Chika barusan, sih?
Chika mencebik, menghela napasnya panjang sambil menandaskan air putihnya hingga habis setengah. "Santai kali, Mbak," katanya, meringis menatap takut ke arah Laras. Ia lalu menyenggol pelan bahu Syahma yang duduk di sampingnya. "Siapa tahu kalau gue yang kenal Pak Narendra duluan, gue bisa jadi pacarnya gitu?"
Oh, God please!
Kedua mataku terpejam sebentar, sebelum suara Laras yang terdengar ketus membuat Gaby dan Siska terbatuk keras di waktu yang hampir bersamaan. "Pacaran? HTS kali?"
"Kalau HTS-nya sama Pak Narendra, sih, gue mau-mau aja, Mbak! Look at how he treated the woman just now. Without any status, I will not pass up the opportunity to get close to him."

KAMU SEDANG MEMBACA
DISCONNECTED (COMPLETED)
Literatura Femininadisconnected /ˌdɪskə ˈ nɛktəd/ : not connected to something. Nothing matters to them except the other person's perception of themselves. Achievement, success, intelligence, and wealth are all things that both parties strive to "keep" in order for ot...