DIS-22-On Pin and Needles

12.4K 1.5K 337
                                    

Adelia's.




Narendra bungkam.

Mungkin sudah berbelas-belas menit kami terdiam dengan Narendra yang menatapku dengan tatapan yang tidak bisa aku artikan.

"Kamu setakut itu, Bu?" Akhirnya Narendra angkat suara, menatapku sambil memicingkan matanya.

Jawabannya sudah jelas. Iya, aku setakut itu.

Narendra terlihat seperti sedang mengatur napasnya perlahan saat kepalaku bergerak mengangguk pelan.

Aku menelan salivaku kelat, mendadak merasa tercekat. "—aku nggak ingin membesarkan Adelia yang lain." Suaraku berubah serak ketika mengucap barusan.

Aku menundukkan kepala—menolak bertemu tatap dengan Narendra ketika suara pria itu kembali terdengar. "How can you say that neither you nor I are capable of being good parents if neither of us has ever been in that position?"

"because it's me and not someone else. Aku tahu diriku lebih baik daripada kamu atau orang lain. Gimana caranya aku bisa membesarkan seorang anak ketika—"

Narendra menyentuh lenganku pelan, membuatku terdiam. "Bukan cuma kamu, Bu. Tapi, ada saya juga. Kita berdua bisa belajar. Later, we can shower our children with as much affection and love as we can. You are not alone."

Ah, Narendra tidak akan pernah tahu...

Mataku terpejam sebentar, sebelum kepalaku bergerak menggeleng pelan. "Itu masalahnya, Ndra...," desahku pelan.

"Di mana masalahnya? Kita bisa, asal kamu mau bekerja sama, Bu."

Siapa yang peduli kalau aku menangis lagi di hadapan Narendra, 'kan? Karena sekuat apa pun aku menahannya, perasaan sakit yang aku rasakan sekarang semakin tidak terbendung—apalagi setelah mendengar kalau semua ini mudah untuk dilakukan dan dilewati bagi Narendra.

"Gimana aku bisa memberikan cinta ke mereka kalau aku sendiri nggak tau apa itu cinta? Gimana bisa aku mengasihi mereka kalau aku nggak pernah merasakan perasaan semacam itu?"

Masih sambil menundukkan kepala, aku akhirnya mengeluarkan semua keraguanku ketika melihat perjanjian pra nikah di antara aku dan Narendra.

Diamnya Narendra sekarang membuat hatiku berdenyut sakit. Apa sebegitu sulitnya pria itu memahami ketakutanku?

Sekali lagi, aku memejamkan mata—berharap kali ini aku bisa mengutarakan perasaanku dengan mudah. "Tekanan, dorongan, pengharapan yang berlebihan, paksaan—itu yang aku terima sebagai seorang anak. I'm not lying when I say I want to be treated the same way as other children's parents—to be loved and cared for. Tapi, kenyataannya? Keinginanku itu nggak pernah aku dapatkan.

"Ada kalanya waktu aku marah dan merasa nggak terima dengan perlakuan orang tuaku, I promise to never treat my child the way my parents treated me. Tapi, aku sadar—aku nggak bakal bisa. Benar katamu, aku nggak akan bisa ngelakuin semuanya sendiri. I need someone to initiate me and teach me about love and affection.

"Karena hal itu nggak akan bisa aku dapatkan dari orang tua, harapanku satu-satunya cuma pasanganku nanti. Pada akhirnya, harapanku satu-satunya pupus juga." Aku memberanikan diri mengangkat kepala, menatap Narendra yang lagi-lagi hanya diam sambil menatapku dengan tatapan yang sulit aku artikan.

Dengan bibir bergetar, aku melanjutkan ucapanku, "Kamu bilang kita bisa belajar? Belajar apa? Belajar ke siapa?"

Aku tahu, memiliki anak adalah sebuah kewajiban jika berbicara soal perjodohanku dan Narendra.

Dan aku ingin Narendra tahu kalau kewajiban itu menyakitiku.

"I'm scared..." Ya, Narendra harus tahu.

DISCONNECTED (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang