DIS-8

13.9K 1.6K 190
                                        

Adelia's.


"Aduh... padahal di sana, 'kan, Miss Adelia sibuk ikut seminar? Waktunya juga mepet, tapi masih sempet-sempetnya beli oleh-oleh buat kita."

Aku hanya bisa tersenyum waktu Ibu Lusi-salah satu dosen di jurusan yang sama denganku-mulai mengeluarkan seluruh kata-kata manisnya, setelah menerima pemberian oleh-oleh yang semalam kubeli di Plaza Singapura secara asal-asalan.

"Jadi, ngerepotin, 'kan, kalau begini? Gimana seminarnya kemarin? Saya, tuh, ikut senang, loh, karena perwakilan kita tahun ini Miss Adelia." Kali ini giliran Ibu Farida yang berbicara, memujiku dengan tatapan penuh damba.

Memang ini yang aku harapkan ketika susah payah membawa oleh-oleh hampir untuk semua dosen-dosen yang mengajar di jurusan Pendidikan Bahasa inggris-jurusan tempatku mengajar-dari apartemen ke kampus.

Bahkan, kalau misal aku tidak sempat membeli oleh-oleh setelah acara dinner kemarin, aku sudah membuat rencana untuk membeli oleh-oleh di airport untuk menarik perhatian para dosen.

Miss Farida mengusap lenganku beberapa kali sambil melempar berbagai pujian setelah mengintip isi paper bag yang sengaja aku letakkan di mejanya. "Kan, memang harusnya Miss Adelia yang berangkat, Bu. Kalau bukan Miss Adelia, memang siapa yang pantas mewakili UGS?"

Susah payah aku menahan senyum, lantas berdehem pelan. "Kebetulan, Bu. Saya sendiri sebenarnya masih kurang percaya diri waktu ditunjuk Pak Felix untuk berangkat. Selain saya, 'kan, masih banyak kandidatnya."

Aku menyebut nama-nama dosen baru yang awalnya masuk ke dalam pertimbangan Pak Felix-rektor kami-untuk datang ke acara ICERI di Singapore kemarin.

"Halah!" Ibu Lusi mengibaskan tangan, sementara raut wajahnya terlihat malas. "Yang lain, 'kan, sama sekali nggak memenuhi kualifikasi! Karena mereka masih muda aja, sama butuh banyak pengalaman yang akhirnya ngebuat Pak Felix taruh nama mereka di list calon peserta seminar."

Miss Farida ikut menganggukan kepala, "Beda sama Miss Adelia, 'kan, ya, Bu?"

"Paling top, pokoknya!" Kami tertawa bersamaan melihat Ibu Lusi mengacungkan jempolnya ke arahku. "Siapa bilang abis ditinggal Miss Nana, jurusan kita jadi melempem? Wong masih ada Miss Adelia, kok," tambahnya, berkelakar bersama Miss Farida.

Dengar sendiri, 'kan? They are now addressing me by name. Namaku yang biasanya tertutup nama orang lain, sekarang bisa kudengar dengan jelas, dilengkapi pujian yang sudah sejak lama aku ingin dapatkan.

Berdiri di sebelah meja kerja Ibu Lusi, aku bersikap malu-malu. "Saya masih belum ada apa-apanya sama Miss Nana, Bu."

Ibu Lusi tiba-tiba memasang wajah galak, ia bahkan menepuk bahuku lumayan keras. "Dari dulu, tuh, saya sebenarnya lebih cocok sama Miss Adelia, loh, dibanding sama Miss Nana." Tubuh Ibu Lusi mendekat, ia juga memberikan gestur supaya Miss Farida ikut merapatkan jarak.

"Kalau yang dulu itu, 'kan, kaku, nggak bisa kompromi sama sekali," bisik Ibu Lusi sambil memperhatikan sekitaran ruangan dosen. "Kan, beda sama Miss Adelia. Orangnya ramah, lebih luwes, nggak sombong. Jauh, lah, ya, sama yang dulu," sambungnya cekikikan.

Menyedihkan, 'kan, ya? Fakta kalau aku merasa bahagia karena diakui dengan menjelek-jelekkan orang lain, memang kenyataan paling menyedihkan.

Ada perasaan bahagia dan puas ketika mendengar pujian-pujian yang dulu diberikan ke orang lain, meski aku ada di sana-sama berusahanya.

Cara orang untuk bisa merasakan bahagia berbeda-beda, kan?

Meskipun di dalam hati aku merasa bahagia, rautku berubah menjadi segan-membuat Ibu Lusi dan Miss Farida berdehem canggung.

DISCONNECTED (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang