DIS-34-A Heavy Heart

16.6K 1.8K 520
                                    

Adelia's.





"Rasanya? Nyaman." Aku mengulas senyum tipis, membersit hidung perlahan. "Tapi, semakin nyaman, justru rasa takut saya juga semakin besar."

"Rasa takut yang sama? Yang pernah kamu ceritakan terakhir kali itu?"

Membenarkan posisi dudukku, kepalaku bergerak mengangguk pelan. "Masih sama. Rasa takutnya nggak berkurang sama sekali, malah semakin bertambah banyak di tiap harinya. Tiap kali saya diperlakukan secara baik, rasa takut lain—yang jauh lebih besar—bakal muncul." Tatapanku mengarah turun, memutus sambungan kontak mata kami.

"Rasa takut yang kamu sebut—bisa kasih ke saya contohnya seperti apa, Lia?"

"Saya takut merasa nyaman." Sesak yang luar biasa aku rasakan sekarang. "Itu ketakutan saya yang paling besar."

Tante Ratih mengangguk paham, "Berarti, sejauh ini belum ada improvement apa-apa, ya, Lia?" Di bawah tatapan lembut Tante Ratih, aku mencoba menahan tangisku begitu mendengar pertanyaannya barusan.

"Ada. Sedikit," jawabku sambil berdehem karena suaraku mendadak berubah serak. "Perasaan nyaman yang saya singgung tadi, bisa bertahan lebih lama dari sebelumnya. I can enjoy myself when I'm in that comfortable situation—it's not the same as before. Meskipun, setelahnya, rasa takut itu tetap muncul lagi."

Kedua mata Tante Ratih terlihat terbuka lebar, senyumnya juga ikut terulas mendengar jawabanku barusan. "Kamu sudah hebat, Lia! Itu kemajuan yang bagus," katanya memujiku dengan nada ceria. "Sebelumnya—menurut pengakuanmu sendiri—kamu memilih untuk pura-pura menikmatinya, 'kan? Meskipun kamu merasa nggak nyaman dengan sekelilingmu, nggak nyaman dengan topik pembicaraan yang sedang diobrolkan, dan sekarang kamu bilang kalau kamu bisa merasa nyaman—meskipun dalam waktu yang sebentar—tanpa memaksakan dan membohongi diri kamu sendiri itu kemajuan yang patut kamu apresiasi, Lia."

Kepalaku mengangguk pelan, tidak tahu benar dengan reaksi macam apa yang harus aku tunjukkan sekarang.

Aku senang dan sedih di waktu yang bersamaan.

"Semuanya memang akan membaik kedepannya, tapi jangan menunggu waktu untuk menyelesaikan semuanya. Kamu juga harus berusaha, Lia. Ingat, 'kan, apa yang saya bilang ke kamu sebagai salah satu kunci agar semuanya ini bisa berhasil?"

Ya, aku ingat semuanya.

Komunikasi. Itu yang dibilang Tante Ratih—mungkin di sesi 5 atau 6 konseling yang aku lakukan.

Nada lembut yang dibuat Tante Ratih saat memanggil namaku, membuatku mengangkat tatapan mengarah ke kedua matanya yang terlihat teduh. "Minta tolong suamimu untuk ikut membantu, Lia. Bukan cuma kamu aja yang menjalani pernikahan, 'kan?"

Tentang Narendra, sampai sekarang—5 bulan pernikahan kami—aku belum juga memberitahunya kalau sudah 3 bulan ini aku rutin datang untuk pergi konseling ke salah satu marriage and family counselor yang ada di Surabaya.

Semuanya bermula dari apa yang aku rasakan di awal-awal pernikahanku dengan Narendra. Perasaanku bisa dibilang lebih kacau setelah memutuskan menikah dengannya. I actually thought I was going insane, karena tidak mampu memahami perasaan macam apa yang aku rasakan saat bersama Narendra—rasa nyaman yang tidak nyaman, begitu aku menyebutnya.

Akhir-akhir ini, bukannya membaik—aku malah merasa perasaan takutku semakin tidak terkendali.

Perasaan takut karena terlalu merasa nyaman.

Karena jika diteruskan, aku akan lupa segalanya. Lupa soal fakta bahwa aku dan Narendra tidak saling mencintai, lupa soal fakta bahwa hubungan kami diikat oleh keuntungan yang dicari kedua belah pihak keluarga kami, lupa bahwa tawa dan perasaan bahagia yang aku rasakan ketika bersama Narendra hanya bersifat semu dan sementara.

DISCONNECTED (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang