Adelia's.
"I'll give you the answer you sought at the time." Dengan cara apa pun, aku harus menahannya. "Jangan pergi. Pulang sama aku," pintaku masih menahan lengan Narendra.
Why do I have to beg him like this? Biasanya, aku akan dengan mudah mengabaikan Narendra seperti saat dia bersama Syahma, kan?
Sementara Narendra menatapku curiga bercampur heran, tatapanku justru terpaku ke arah Nana—fokus yang sejak tadi diperhatikan Narendra dan Abzar.
Kenapa harus Nana, sih, Ndra?
Why, after all, did you put me in this position again?
Rasa sesak yang akhir-akhir ini jarang aku rasakan, nyatanya kembali membelitku. Perasaan takut, gelisah, dan gugup ketika harus bersanding dengan Nana, kenapa harus aku rasakan lagi ketika wanita itu bahkan sudah punya kebahagiaannya sendiri?
Bahkan, segala cara sudah aku lakukan. Pergi menjauh, mencoba memaksakan diri supaya aku bisa 'terlihat'—sudah sejauh ini...
Aku tahu Narendra tidak mencintaiku, tapi setidaknya sejak obrolan kami terakhir kali, aku tahu kalau pria itu berusaha untuk serius tentang hubungan yang akan kami jalani. Jadi, dengan sedikit permohonan seperti ini aku pikir Narendra mau mempertimbangkan keinginanku yang tidak besar ini...
"Nanti, ya. Kamu pulang duluan sama Dira, nanti saya nyusul."
Hanya sebuah permintaan kecil, dan Narendra tidak mampu mengabulkannya.
Kalau harus jujur dengan perasaanku sendiri, aku memang belum memiliki perasaan cinta ke Narendra. Tapi, melihat bagaimana dia melepaskan tanganku dari lengannya, dan bergegas menghampiri Algis dan Nana kenapa membuat hatiku berdenyut nyeri begini?
Benar... lagi-lagi aku berpikir naif—mengharapkan sesuatu yang tidak mungkin aku dapatkan di kehidupanku yang sekarang.
Adelia, you need to get up!
Bukan... Bukan menangis seperti ini.
Aku buru-buru menundukkan kepala, menghapus air mata yang hampir saja turun kalau aku tidak buru-buru menyekanya.
"Ibu..." Begitu mendengar suara Dira, mataku mengerjap cepat. "Ibu kenapa?" tanyanya, begitu tatapan kami bertemu.
Apa aku harus mengatakan ke Dira kalau atasan mereka baru saja membuatku menangis? "Nggak pa-pa. Kamu ke sini sama siapa?"
Aku tahu kalau Dira tidak percaya dengan ucapanku barusan, dilihat dari bagaimana cara asisten pribadi Narendra menatapku sekarang. "Bapak barusan kirim pesan ke saya, Bu. Ibu duduk dulu, ya?"
Sedikit memaksa dengan menekan kedua bahuku, aku akhirnya kembali duduk karena paksaan Dira yang kini berdiri di samping kursiku. "Kamu sama siapa aja? Sudah makan belum, Dira?" tanyaku, mencoba mengalihkan perhatiannya.
"Sudah, Bu." Kurasakan usapan pelan di kedua bahuku. "Ibu mau makan apa? Mau di sini saja, atau cari makan di luar sekalian?"
Kalau saja aku tidak dipaksa Ayah, mungkin sekarang aku sedang bersantai-santai di apartemenku. Padahal, tanpa aku pun mereka berdua bisa tetap datang ke sini dengan sama bangganya karena aku—sosokku sendiri—tidak berpengaruh banyak.
Untuk Narendra sendiri... aku seperti bukan siapa-siapanya. Tanpa mempertimbangkan perasaanku, dia bisa pergi begitu saja.
So, what exactly am I here for?
"Pulang aja," jawabku membutuhkan beberapa menit untuk berpikir. "Bapak kalian—" Dari tempat duduk, aku mencoba mengedarkan pandangan mencari sosok Narendra. "—pamit pulang dulu sana, Dir," kataku setelah Dira membantuku menemukan Narendra dengan telunjuknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
DISCONNECTED (COMPLETED)
Literatura Femininadisconnected /ˌdɪskə ˈ nɛktəd/ : not connected to something. Nothing matters to them except the other person's perception of themselves. Achievement, success, intelligence, and wealth are all things that both parties strive to "keep" in order for ot...