Adelia's.
"Padahal, sejak awal sudah Mama ingatkan supaya hati-hati! Tapi, Ayahmu itu mana mau dengar? Iya-iya mulu! Sekarang, coba lihat kita jadinya gimana?"
Sepertinya, waktu itu umurku masih 8 tahun saat aku terpaksa pindah ke Australia bersama Mama karena Ayah tersandung kasus penggelapan dana prasarana ketika masih menjabat sebagai Gubernur Jawa Timur.
Tentu aku masih ingat cemoohan yang aku dan Mama terima dari banyak orang. Di sekolah aku dijuluki anak koruptor, sementara di rumah aku dan Mama dijauhi tetangga sekitar karena rumor yang saat itu kami—aku dan Mama—percayai sebagai rumor tidak berdasar.
Masih teringat sangat jelas ketika kami mendapat kabar kalau Ayah dipindahkan ke Rumah Tahanan Negara, Mama bilang kalau kami hanya punya satu sama lain.
Mungkin karena ucapan itu juga, Mama mulai 'menekanku' dengan mengatakan kalau ia hanya punya aku sebagai tempat bergantung.
"Don't let yourself down! You must show everyone who brought us here that what they say was indeed meaningless!"
Dari sana lah, hukuman itu mulai Mama buat untukku.
Dari sana lah, Mama mulai 'membentukku.'
Tidak ada kegagalan. Tidak ada kesalahan. Tidak boleh mengalah. Tidak boleh terlihat lemah.
"Bukan dia yang pintar, Lia! Kamu yang kurang usaha! Gimana bisa Nana sanggup, tapi kamu sudah menyerah duluan begini? Ema cerita kalau Nana punya target untuk kuliah di UPenn, sementara kamu Mama tanya sekarang malah bilang nggak tahu rencana kamu kedepannya? Apa ini masuk akal, Lia?"
Masuk akal.
Harusnya aku menjawab seperti itu saat itu, bukannya menundukkan kepala sambil menahan tangis.
Waktu itu, aku terlalu sibuk melihat sekitar, memperhatikan pencapaian-pencapaian yang orang lain buat. I'm too busy with following the footsteps of others. Kedua mataku selalu tertuju ke seberapa banyak kesalahan yang mereka buat dan bagaimana hal itu adalah satu-satunya yang bisa membuatku bahagia.
I was so focused on that one that I forgot about myself.
"Segini aja nggak cukup, Lia! Kalau usaha yang kamu kasih cuma se-sedikit ini, kita nggak akan ke mana-mana!"
Malam itu, Mama pulang dengan berteriak-teriak menghampiriku yang sedang belajar di kamar. Mama mendengar berita tentang paper milik Nana yang berhasil masuk ke list antrian ANSE Student Paper Competition—salah satu penghargaan bergengsi yang juga coba aku ikuti.
Suara langkah Mama yang mondar-mandir di dalam kamarku, tatapan tajamnya, dan berakhir ke pukulan—yang entah sudah keberapa kalinya—aku terima dari tangan Mama—semuanya masih bisa aku ingat dengan jelas.
Sudah sejauh ini langkahku, tapi bagi Mama, aku terlihat belum melangkah ke manapun.
Aku tahu seberapa besar rasa kecewa yang ditahan Mama selama ini. Mama pikir semuanya akan berubah setelah Ayah dibebaskan dan dinyatakan tidak bersalah setelah melakukan pengajuan banding ke MA.
Ternyata pembebasan dan pembersihan nama baik Ayah tidak berdampak banyak bagi keluarga kami. Nama keluarga kami masih dijadikan salah satu contoh penarik minat masyarakat sebagai pengingat kasus korupsi yang tidak pernah Ayah lakukan.
"Everything will return to normal after this. Kita bakal pulang ke Indonesia. Kita sudah nggak perlu sembunyi-sembunyi lagi kayak begini, Lia!"
Semuanya tentang kekecewaan Mama.
Ucapan Mama tidak pernah terwujud setelahnya. Kami tetap tinggal dengan sembunyi-sembunyi, bahkan setelah Mama memutuskan untuk pulang sendirian ke Indonesia—aku dipaksa untuk tinggal dalam diam.
KAMU SEDANG MEMBACA
DISCONNECTED (COMPLETED)
ChickLitdisconnected /ˌdɪskə ˈ nɛktəd/ : not connected to something. Nothing matters to them except the other person's perception of themselves. Achievement, success, intelligence, and wealth are all things that both parties strive to "keep" in order for ot...