.
.
.Seminggu berlalu semenjak kebakaran yang menghancurkan hidupku. Sebenarnya aku belum bisa menerima semuanya. Tapi aku berusaha untuk tetap tegar. Aku tidak ingin membuat om dan tante khawatir. Semua aku lakukan dengan baik, walaupun setiap malam aku diam-diam masih menangis sendirian di kamar.
Kini aku tinggal di rumah om Frans, bersama Alvin dan tante Ana. Kamarku bersebelahan dengan kamar Alvin. Aku sudah cukup terbiasa disini. Saat orang tuaku masih hidup, jika liburan tiba, aku juga sering menginap disini dan menempati kamar yang sama. Bersuka ria dengan sepupuku. Kami begitu dekat. Mungkin karena kami anak tunggal dalam keluarga sehingga tidak punya teman untuk berbagi cerita. Bahkan tidak jarang kami disangka berpacaran saat jalan berdua di mall.
Pagi ini aku berencana untuk pergi ke kantor polisi. Aku ingin meminta keterangan selengkapnya tentang kejadian malam itu. Polisi belum memastikan penyebab utama kebakaran tersebut. Mereka masih menyelidikinya. Kemungkinan besar disebabkan oleh ledakan tabung gas. Tapi semua itu belum dipastikan secara rinci. Entahlah.. aku juga tidak tahu, dan yang pasti aku akan mencari kebenaranya.
Setelah siap, aku keluar kamar dan menuju meja makan untuk sarapan. Disana sudah ada om yang sudah siap ke kantor seperti biasanya dan tante yang sedang memoles selai ke roti bakar.
“Pagi, om. Pagi, tante,” sapaku dengan tersenyum lalu duduk di salah satu kursi.
“Pagi, Sera,” jawab tante, sedangkan om hanya tersenyum dan kembali pada sarapannya. Sepertinya dia sedang terburu-buru. Dia makan dengan cepat, dan benar saja, om mengambil tas kantornya lalu bergegas pergi setelah sarapannya selesai.
“Pagi ini papah ada meeting. Papah berangkat sekarang, ya..” pamitnya lalu pergi.
“Hati-hati, pah,” teriak tante karena om sudah menjauh. Om tidak menjawab lagi.
“Alvin belum keluar kamar, tante?” tanyaku mengalihkan pandangan tante sambil mengoles selai di rotiku. Sarapan pagi yang disiapkan oleh Mbak Marni, pembantu rumah tangga di rumah ini, adalah roti bakar dengan selai kacang dan tidak lupa segelas susu.
Aku jadi teringat bunda. Di rumah tidak ada pembantu rumah tangga, jadi aku bisa merasakan masakan bunda setiap harinya. Tapi sayang, kini aku tidak bisa merasakanya lagi. Sedih memang, tapi mau bagaimana lagi. Takdir memang terkadang sunggung kejam.
“Tadi tante ke kamarnya, tapi dia belum bangun. Sebenarnya kemarin Alvin sudah bilang hari ini gak ada kuliah pagi, maka itu mungkin dia seenaknya bangun siang."
Aku hanya membulatkan mulutku. “Hari ini kamu mau ke kantor polisi lagi?” tanya tante yang sudah bisa membaca pikiranku. Aku hanya mengangguk sebagai jawaban karena mulutku sedang penuh dengan roti.
“Dalam seminggu ini kamu udah kesana lima kali lho, Ra. Kenapa kamu gak tunggu kabar aja dari mereka?”
Aku tidak bisa menjawab pertanyaan tante satu itu, walau mulutku sudah tak ada roti tersisa. Aku menunduk lemas memikirkan jawabannya. Memang, aku sudah lima kali kesana dalam seminggu. Dan hasilnya nihil.
“Aku gak bisa tinggal diam, tante. Aku ingin mencari kebenaran itu sendiri. Aku gak peduli sampai kapan. Aku akan berusaha karena aku udah janji sama ayah dan bunda,” jawabku akhirnya. Tante Ana menampakkan senyuman manisnya.
“Ya sudah. Selama kamu akan baik-baik aja, tante gak akan larang kamu. Ikutin apa kata hati kamu,”
“Iya tan, makasih. Aku berangkat sekarang,” pamitku. Aku lalu berdiri menghampiri tante Ana.
“Kamu gak mau ditemenin Alvin?”
“Enggak deh tan, lagian Alvin belum bangun. Aku berangkat sendiri aja.” Aku menolak tawaran tante. Aku mencium tangannya dan bergegas pergi. “Dah.. tante…”
“Dah Sera, hati-hati..” Ucap tante untuk yang kedua kalinya. Aku hanya mengangguk lalu meninggalkannya.
Aku menghampiri mobilku. Satu-satunya harta benda milikku yang tersisa. Aku ingat saat ayah memberikan mobil ini sebagai hadiah ulang tahunku yang ke tujuh belas. Semua kenangan bersama ayah dan bunda tidak mudah kulupakan dengan mudahnya. Tentu saja. Bahkan selalu muncul dalam pikiranku.
Sebelumnya, aku selalu ditemani Alvin, tapi tidak hari ini. Aku tidak mau mengganggu kesenangan orang lain. Mungkin dia sedang lelah. Kemarin dia pulang kuliah sangat larut. Jadi aku memutuskan untuk tidak mengganggu. Kuliah di salah satu universitas favorit membuatnya menjadi mahasiswa yang cukup sibuk. Apalagi dia baru satu tahun disitu. Sepertinya dia masih mencoba menyesuaikan diri. Itu menurutku, dengan mendengarkan semua ceritanya.
***
Kantor polisi.
Disinilah aku sekarang. Walaupun masih pagi, kantor ini sudah ramai oleh pegawainya. Ada yang berpakaian seragam polisi, ada juga yang hanya memakai kemeja biasa. Aku langsung menuju ruangan sang kepala. Aku rasa orang-orang disini sudah hafal dengan wajahku jadi mereka tidak perlu repot-repot bertanya apa tujuanku karena jawabanku pasti sama.
Aku mengetuk pintu ruangan itu, dan tak lama kemudian suara dari dalam memperbolehkan aku masuk. Seketika aku langsung masuk dan segera duduk dihadapan sang kepala kantor.
“Maaf, pak, jika kedatangan saya membuat bapak tidak nyaman. Saya tidak bisa tenang jika belum mendapat kepastian,” kataku tanpa berbasa-basi.
“Saya mengerti dengan perasaan kamu. Tentu saja kamu bisa datang kesini kapanpun kamu mau,” jawabnya dengan tersenyum. Aku yakin dia berkata bohong. Aku mengganggunya sudah hampir seminggu penuh, jadi mustahil jika dia tidak merasa terganggu.
“Bagaimana dengan penyelidikannya, pak?”
“Maaf, kami belum juga menemukan petunjuk yang kuat, saya harap adik bisa bersabar untuk beberapa saat,” kata kepala itu. Aku selalu menyebutnya kepala karena aku memang tidak tahu siapa namanya. Sebenarnya sih, ada sebuah papan nama di mejanya. Tapi aku tidak pernah membacanya sekalipun. Apalagi untuk mengingatnya.
“Baiklah, kalau begitu. Saya akan datang lagi nanti, permisi.” Sikapku dingin. Bahkan setiap ke tempat ini.
“Bagaimana kalau kamu menunggu saja kabar dari kami? Kamu tidak perlu repot datang kesini lagi,” tawarnya dengan bijaksana. Mengapa bisa begitu kompak dengan tante Ana? Namun aku tidak tertarik sedikitpun.
“Tidak usah, pak. Saya baik-baik saja dan tidak merasa kerepotan. Permisi,” kataku lebih dingin dari sebelumnya. Aku tidak menghiraukannya lagi dan langsung keluar dari ruangan itu.
Aku melihat arloji yang melingkar ditangan kananku. Hanya lima belas menit aku berada disini. Setelah ini mungkin aku akan pulang saja daripada membuang-buang waktuku. Seminggu sudah cukup membuang banyak waktu.
Aku tiba didepan mobilku. Ketika aku ingin membuka pintu mobil, tiba-tiba ada seseorang yang memegang bahuku dari belakang. Aku refleks meraih tangannya lalu berputar, memojokkan orang tersebut pada mobil. Tangannya yang memegangku tadi aku kunci dibalik tubuhnya.
Seorang pria. Dia lebih tinggi dariku, memakai setelan kaos dan celana jeans. Kulitnya bisa dibilang putih bersih untuk ukuran pria, menurutku. Dia tampan. Oh, tidak! Jangan sampai pipiku merona, dasar bodoh!
.
.
.
.
.
to be continued
![](https://img.wattpad.com/cover/332922274-288-k694308.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
My Secret Agent
RomanceSera menatap takut rumahnya yang sedang dilahap si jago merah. Dia berteriak histeris memanggil ayah dan bundanya. Kejadian nahas itu menyeret Sera secara paksa untuk menghadap penderitaan pilu. Oh, tentu saja dia belum siap untuk semua itu. Namun...