.
.
.
.
.
.
.
.
.
.Aku dan Jo baru saja menginjakkan kaki di pintu masuk Galeri Barang Antik Pak Suryo. Tempat ini didekorasi sedemikian rupa menjadi khas tempat lelang kelas atas disertai dengan mini party. Beberapa meja bulat khusus tamu VIP pun tidak luput disini.
Aku mengekor dibelakang Jo. Kami langsung disambut oleh panitia dan segera diarahkan untuk duduk disalah satu meja bundar. Kalau saja aku tidak sedang menyamar menjadi sekertaris Jo, dia pasti sudah menggandengku kemana pun dia melangkah, sama seperti beberapa tamu lainnya yang terlihat membawa pasangan. Sedangkan aku saat ini setia menggandeng I-pad ditangan kiriku.
Jo benar-benar berbakat menjadi aktor yang handal. Dia duduk dengan tenang sambil berbincang santai dengan tamu lain di meja yang sama, tanpa memperdulikan pacarnya yang berdiri dibelakangnya seolah aku tidak ada disana. Aku tahu memang aku yang ingin ikut dan kembali berperan menjadi sekertarisnya, tapi apa harus setotalitas itu?
Well, Sera. Jawabannya tentu saja. Bukankah kalian sedang bermain peran? Bodoh sekali kau masih bertanya seperti itu. Tidak perlu berpikir macam-macam.
Aku kini masih tegap berdiri dibelakang Jo. Untung saja aku tidak memakai heels. Belajar dari pengalaman, aku memilih sepatu kerja dengan model yang lebih casual, dengan setelan blazer bercelana pendek ala korea berwarna pink, tidak ada rok pendek super ketat seperti sebelumnya, aku terbebas dari kekhawatiran pakaian dalamku terekspos kekhalayak ramai.
Aku melihat beberapa orang bernasib sama sepertiku, berdiri dibelakang bos mereka masing-masing. Tetapi kebanyakan dari mereka pria dengan jas rapih yang menurutku lebih terlihat seperti bodyguard daripada sekertaris.
"Selamat datang, Pak Jonathan." Suara seorang pria datang dari belakangku. Aku sontak berbalik dan mendapati Pak Suryo yang menyapa.
Jo juga langsung berdiri lalu menjabat tangannya. "Apa kabar, Pak Suryo?"
"Sangat baik. Itu semua berkat Anda, Pak."
"Senang mendengarnya."
"Nikmati waktu Anda, Pak Jonathan. Sebentar lagi acaranya akan dimulai." Jo hanya tersenyum sambil menatap kepergian Pak Suryo.
Tanpa melirik sedikitpun kearahku (aku garis bawahi 'Tanpa') Jo kembali duduk dikursinya. Cih! Benar-benar mendalami peran.
"Jo, arah jam tujuh. Luceat group sudah tiba." Tiba-tiba Kei bersuara ditelingaku.
Sebelum turun dari mobil tadi, Jo memyuruhku untuk memakai earphone seperti yang selalu dia pakai, kelak untuk aku, Jo, dan Kei berkomunikasi seperti saat ini. Aku menyembunyikannya dibalik rambutku yang tergerai. Padahal baru kemarin rasanya aku mengutuk earphone yang mengganggu ini, dan sekarang aku juga mengenakannya.
Aku refleks menengok kearah yang Kei bilang. Aku melihat ada seorang pria sekitar 40-an dengan dikawal dua orang pria bertubuh tegap. Apakah itu orangnya dari Luceat Group?
"Menengoklah secara natural, Sera. Kau terlalu bersemangat." Kei mengocehiku pelan.
"Ups. Maaf. Aku kurang pengalaman."
"Siapa dia?" Tanya Jo. Aku tidak dapat mendengarnya bicara walau dia didepanku dan mendengarnya lewat earphone.
"Direktur Perencanaan Luceat Group. Ricard Glael. Pemilik sidik jari yang kau gunakan untuk masuk ke ruang data."
"Dammit!"
Aku hanya menyimak percakapan mereka, sambil memandang kedepanku secara natural. Sekali lagi aku garis bawahi, 'Secara Natural'.
"Apa yang kini dia lakukan?" Jo kembali bertanya.
"Sedang mengobrol dengan seseorang."
"Baiklah. Aku bergerak sekarang." Kata Jo terdengar di earphone-ku.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Secret Agent
RomanceSera menatap takut rumahnya yang sedang dilahap si jago merah. Dia berteriak histeris memanggil ayah dan bundanya. Kejadian nahas itu menyeret Sera secara paksa untuk menghadap penderitaan pilu. Oh, tentu saja dia belum siap untuk semua itu. Namun...