.
.
.
.
.
.
.
.
.
.Kami tiba di meja resepsionis. Dua orang petugas, pria dan wanita, menyambut kami dengan ramah dan sopan. Kali ini aku maju dan menyodorkan kartu nama.
"Kami sudah punya janji temu dengan Pak Suryo." Ucapku dengan elegan, berperan sebagai sekertaris kelas atas yang profesional. Semoga aku melakukannya dengan benar.
"Silahkan lewat sini, Pak." Si petugas wanita menunjukkan jalan dan membimbing kami.
Setelah berjalan cukup jauh kedalam gedung, kami memasuki sebuah ruang rapat. Kami disuruh menunggu disana. Jo duduk bersandar dengan santai, sedangkan aku sangat tegang dan berusaha mengatur nafasku.
Tak berselang lama, seorang pria memasuki ruangan ini bersama seorang wanita. Aku rasa ini yang namanya Pak Suryo, dia terlihat seumuran dengan ayah.
"Selamat datang, Pak Jonathan. Senang sekali menyambut anda di galeri kecil kami." Kata Pak Suryo sembari menjabat tangan kami bergantian.
Kami duduk berhadapan, Pak Suryo dengan pegawainya, dan aku dengan Jo. Jo masih dengan wajah tenang nan damainya. Aku juga setidaknya berusaha setenang dirinya.
"Saya tidak menyangka Anda sendiri yang akan kesini, dan saya juga mendengar bahwa anda juga yang langsung mengusulkan untuk investasi di galeri ini. Terima kasih atas perhatian anda, Pak Jonathan." Kata Pak Suryo dengan senyum lebar.
"Saya menyukai barang-barang antik, Pak Suryo. Jadi, saya harap galeri seperti ini bisa terus maju kedepannya. Bagaimana dengan kontraknya? Apakah sudah sesuai?"
"Begini Pak Jonathan..." Belum juga Pak Suryo menyelesaikan kalimatnya, handphone Jo memonopoli dengan berbunyi lantang. Jo bergerak meraih ponselnya.
"Maaf, Pak Suryo, saya permisi angkat telepon dulu."
"Silahkan, Pak."
"Lanjutkan saja pembicaraannya dengan sekertaris saya. Permisi."
Jo pun keluar ruangan. Matilah aku. Apa yang harus aku lakukan dan bicarakan?
"Jadi bagaimana, Pak, kelanjutannya tadi?" Ucapku spontan. Entahlah. Ikuti saja alurnya. Tidak usah terlalu pusing.
"Begini, Nona, hmm..."
"Sera. Nama saya Sera."
"Baik Nona Sera. Sebenarnya saya cukup berterima kasih pada Pak Jonathan. Hanya Pak Jo yang mau mengambil keuntungan sebesar 5%. Biasanya investor lain akan meminta minimal 10%. Saya sangat bersyukur Pak Jonathan begitu memberi perhatian lebih pada galeri ini." Ucap Pak Suryo. Aku hanya mengangguk kecil sambil menyimaknya.
'Leo, aku bergerak. Kemana aku harus pergi?'
'Lurus ke koridor sebelah kiri. Hati-hati ada orang dari arah jam 2.'
Jo mulai bergerak. Mereka berkomunikasi di earphone. Aku sedikit bingung, disaat sedang menyimak Pak Suryo bicara, mereka juga lagi ribut tanya jawab di telingaku.
Karena membuatku tidak konsentrasi, aku akhirnya melepaskan earphone dari telingaku lalu menaruhnya dalam saku blazer. Secara diam-diam tentu saja.
"Pak Jonathan hanya ingin melihat hal yang beliau gemari bertahan lama, Pak."
"Iya saya paham. Mungkin saya juga akan melakukan hal yang sama jika berada di posisi Pak Jo. Dia masih muda, dan memiliki perusahaan yang sukses, wajar jika dia hanya ingin menikmati hidup ini dengan hal-hal yang membuatnya senang, bukan?"
Hell, benarkah? Bagaimana Jo bisa membuat fakta seperti itu?
"Betul, Pak. Ngomong-ngomong, bagaimana dengan pelelangannya, Pak?" Tanyaku. Aku ingat pemantik itu terjual di acara pelelangan dan mencoba mencari tahu lebih jauh.

KAMU SEDANG MEMBACA
My Secret Agent
RomanceSera menatap takut rumahnya yang sedang dilahap si jago merah. Dia berteriak histeris memanggil ayah dan bundanya. Kejadian nahas itu menyeret Sera secara paksa untuk menghadap penderitaan pilu. Oh, tentu saja dia belum siap untuk semua itu. Namun...