.
.
.
.
.
.
.
.
.
.Tanpa menjawab sepatah kata pun pada si satpam aku malah merogoh saku jaketku untuk mengambil ponsel. Aku mencari nama Dani dan segera meneleponnya.
"Halo, Jo." Suara Dani bergema pelan di sambungan telepon.
"Bicaralah pada satpam."
Aku menyodorkan ponselku pada satpam, yang ku ketahui bernama Beno dengan melihat papan nama di bajunya. Awalnya dia ragu dan bingung mengapa aku melakukan itu, tapi perlahan dia mengambil ponselku lalu menempelkannya ke telinga.
"Ya, halo?"
Aku menunggu Dani bicara padanya agar dapat membiarkanku masuk. Aku sedang malas bicara. Apalagi jika hasilnya dia tetap tidak percaya setelah aku jelaskan panjang lebar. Itu hanya buang waktu dan juga melukai harga diriku.
Tidak sampai 2 menit Beno bertelepon dengan Dani menggunakan ponselku. Setelah selesai, dia langsung mengembalikan handphone milikku. Ekspresinya kini berubah drastis.
"Maafkan saya, Pak. Silahkan masuk." Ucapnya dengan sangat sangat sangat sopan.
Aku berlalu masuk tanpa menghiraukannya. Ini bukan pertama kalinya bagiku. Bahkan mungkin sampai sekarang, tidak semua pegawai disini yang mengenaliku. Tidak heran, karena aku memang jarang sekali kesini. Apalagi jika aku kesini, aku tidak pernah memakai pakaian formal. Kebanyakan memakai kostum seperti sekarang yang aku kenakan. Jeans dan kaos 'serba hitam'. Wajar kalau aku lebih sering dicurigai sebagai penjahat.
"Selamat siang, Pak Jo." Sapa seorang pegawai wanita ketika aku melewati meja kerjanya. Dia bahkan menghentikan pekerjaannya lalu berdiri untuk menyapaku dengan sopan.
Aku hanya mengangguk sambil tersenyum membalas sapaannya. Syukurlah masih ada yang mengenaliku. Mungkin pegawai yang sudah cukup lama bekerja disini.
Aku langsung menuju ke ruangan Dani. Dia sedang duduk di meja kerjanya dengan ekspresi serius menatap layar komputer.
"Hai, Dan." Ucapku begitu masuk lalu tanpa basa basi langsung duduk di sofa tamu ruang kerjanya.
"Hai, Jo. Kau sudah datang?"
Dani langsung berdiri untuk menghampiriku. Tidak lupa dengan membawa beberapa file di tangannya. Itu dia yang menungguku. Sepertinya banyak sekali berkas yang harus aku tinjau. Aku rasa itu tidak akan memakan waktu sebentar. Bisa-bisanya Dani membohongiku.
"Perlukah aku memajang potomu di lobi utama? Aku akan buatkan yang paling besar." Ucapnya begitu duduk dihadapannya.
Mungkin dia juga cukup lelah menjelaskan ke pegawai saat aku tidak diperbolehkan masuk. Dia saja lelah, apalagi aku?
"Kau bilang hanya sebentar? Mengapa file nya banyak sekali?" Protesku. Melihatnya saja sudah membuatku mengantuk.
Aku tidak menghiraukan tawaran Dani tentang memasang poto. Dia hanya mengejekku.
"Ada tiga kali lebih banyak dari ini. Ini hanya proyek yang menarik perhatianku, dan dokumen yang tinggal kau tanda tangani, termasuk kontrak dengan Pak Suryo."
Pak Suryo? Oh, galeri barang antik. Bagaimana aku bisa melupakannya? Aku mengunjunginya bersama Sera, dan mengambil data miliknya tanpa sepengetahuannya.
"Oh iya. Dia juga mengirimkan undangan untuk ke pelelangannya." Ucap Dani lagi memberitahu.
"Kau sajalah yang datang." Aku menjawab dengan ogah-ogahan. Sejak kapan aku tertarik dengan hal seperti itu.
"Dia mengharapkanmu datang bersama sekertarismu. Aku tidak tahu kau punya sekertaris pribadi. Apa kau kesini bersamanya juga?"
Aku masih terdiam mencerna ucapan Dani barusan. Sekertaris pribadi? Siapa? Sejak kapan?

KAMU SEDANG MEMBACA
My Secret Agent
RomanceSera menatap takut rumahnya yang sedang dilahap si jago merah. Dia berteriak histeris memanggil ayah dan bundanya. Kejadian nahas itu menyeret Sera secara paksa untuk menghadap penderitaan pilu. Oh, tentu saja dia belum siap untuk semua itu. Namun...