.
.
.
.
.
.
.
.
.Jika ada olimpiade kejuaran tepat waktu, aku yakin Jo berkemungkinan mendapatkan mendali emas. Saat waktu menunjukkan pukul 10.00 lewat 5 detik, Jo sudah tiba didepan pagar rumah dan membunyikan klakson menandakan kedatangannya.
Sebelum turun menemuinya, aku sekali lagi melihat penampilan dan riasan wajahku didepan cermin. Riasan natural look dengan lipstik berwarna glossy pink memang selalu menjadi andalanku. Aku membiarkan rambut panjangku terurai dengan sedikit sentuhan blow diujungnya.
Kamarku sekarang sudah seperti kapal pecah. Baju bertebaran tak beraturan di lantai. Aku bisa mendengar tangisan sepatu-sepatuku yang kehilangan pasangannya.
Aku tidak menyadari bajuku disini hanya sedikit, mungkin hanya satu per lima nya dari bajuku di rumah. Aku mencari baju yang sesuai untuk hari ini, menjadi penyebab kekacauan kamarku.
Setelah aku mengosongkan lemariku, akhirnya pilihanku jatuh kepada oversized shirt berwarna putih dan celana ripped skinny jeans yang robek tiga garis dari lutut keatas dikedua sisinya. Tidak lupa dengan sepatu kets serta sling bag yang sudah menggantung di pundakku.
Masa bodo dengan kamarku, akan kuurus saat aku pulang nanti. Aku mempercepat langkahku keluar kamar. Namun, langkahku berhenti di kamar Alvin untuk berpamitan padanya. Aku langsung membuka pintu kamarnya tanpa aba-aba dan mendapatinya sedang main game playstation.
"Vin, aku berangkat." Pamitku. Alvin menengok tanpa memberhentikan jarinya menekan joystick.
"Kamu mau kencan hah?"
"No."
"Bedak di wajahmu sudah seperti cat tembok."
Kalau saja aku tidak sedang terburu-buru, aku akan menghajar Alvin di tempatnya. Aku hanya memberinya tatapan maut lalu pergi dengan membanting pintu kamar Alvin.
Aku lekas berlari menuruni tangga. Om dan tante sedang pergi main golf dengan teman kerja om, dan aku berpamitan saat sarapan tadi. Mereka agak heran juga memang, reaksi yang sama dengan Alvin, mengapa masih bekerja pada hari minggu. Namun, aku berdalih dengan mengatakan agar cepat terselesaikan. Bukan sekedar dalih sebenarnya, tapi juga harapan.
Kini aku telah tiba di pintu pagar. Aku melihat Jo sedang berdiri bersandar di mobilnya. Dia tersenyum saat melihat kehadiranku. Aku mohon pipiku yang baik hati, jangan berubah kemerahan oke.
"Maaf membuatmu menunggu."
"Tidak masalah."
Jo membukakan pintu mobilnya dan mempersilahkanku masuk.
"Terima kasih."
Jo lagi-lagi tersenyum membalas ucapanku. Dia menutup pintu mobil, berjalan kearah sisi sebaliknya, lalu masuk juga kedalam mobil. Tanpa aba-aba Jo langsung menjalankan mobilnya.
"Maaf telah mengganggu hari minggu-mu, Jo." Ucapku basa-basi memulai percakapan.
"Kita baru bertemu berapa menit, tapi kau sudah dua kali minta maaf padaku, Sera." Aku tersenyum kaku mendengarnya dan masih berpikir mau jawab apa, tapi Jo melanjutkan berbicara. "Lagipula aku tidak punya pacar yang menuntut hari minggu-ku."
Sambaran petir bagaikan menerjang kepalaku. Jantungku ikut berdegup tak karuan. Dia peramal atau agen rahasia? Mengapa handal sekali membaca pikiranku?
"You must be joking."
"Aku bersungguh-sungguh, Sera." Aku menoleh ke jendela sampingku, menyembunyikan pipiku yang sudah mulai tidak bisa diajak kerjasama. "Bagaimana denganmu?"
"Aku bahkan tidak pernah pacaran."
"Yeah, aku tahu."
"Itu sebuah hinaan?"

KAMU SEDANG MEMBACA
My Secret Agent
RomansSera menatap takut rumahnya yang sedang dilahap si jago merah. Dia berteriak histeris memanggil ayah dan bundanya. Kejadian nahas itu menyeret Sera secara paksa untuk menghadap penderitaan pilu. Oh, tentu saja dia belum siap untuk semua itu. Namun...