I'm blocked?

22 2 0
                                        

.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

Kami memutuskan untuk makan siang di sebuah restoran yang cukup terkenal. Aku pernah beberapa kali melihat food blogger yang makan disini lalu merekomendasikan pada penontonnya. Aku belum pernah kesini sebelumnya  begitu juga dengan Alvin. Oleh sebab itu kami memutuskan ke tempat ini.

Siang ini, restorannya sangat ramai. Hampir saja kami tidak mendapatkan meja. Ketika pelayannya datang, kami memilih beberapa menu best seller dan camilan untuk teman mengobrol nanti. Sepertinya kami akan menghabiskan waktu lama disini.

"Tadi kamu abis ngapain, Ra?" Tanya Alvin membuka obrolan kami.

"Ke kantor kuasa hukum ayah bunda. Pengalihan harta, semacam itu. Aku juga berencana untuk bangun kembali rumahku."

"Kamu udah kepikiran kesana?"

"Ngeliat rumahku yang hancur begitu bikin aku makin sedih. Jadi lebih baik cepat dibangun saja."

"Terus kamu tinggal disana nanti sendirian?"

"Yup."

"Kenapa gak tinggal di rumahku aja, sih, Ra?"

"No. Aku gak mau hidup selamanya ngerepotin kalian."

"Kami gak merasa direpotkan."

"Tetap saja, Vin. Masa aku mau ngebiarin rumahku seperti saat ini, hancur lebur, lama kelamaan jadi rumah hantu gitu. Sayang dong. Semua kenangan yang ada di rumah itu hilang gitu aja."

"You get the point."

"Hmm.. sebenarnya, Vin. Aku mau pindah dari rumahmu sekarang ini."

"Hah? Kan rumahnya belum jadi, Ra. Kamu mau pasang tenda darurat di rumahmu?"

"Hish bukan."

Seorang pelayan mengantarkan makanan kami yang terdiri dari banyak piring-piring. Apakah pesanan kami memang sebanyak ini? Aku menghentikan ceritaku sejenak sambil menunggu si pelayan selesai menata makanan di meja kami. Begitu selesai dia tersenyum pamit lalu pergi.

Aku meraih sendokku dan lanjut bercerita sambil menyantap makananku. Alvin pun melakukan hal yang sama.

"Aku sementara tinggal di rumah singgah orang tuaku. Bukannya aku kemarin bilang?"

"Emang dimana rumah singgah itu? Kok aku gak pernah tau sebelumnya kamu punya rumah lain?"

Jangankan kamu, Vin. Aku saja baru mengetahuinya kemarin. Itu pun karena tidak disengaja.

"Hmmm... Mungkin karena terlalu lama kami gak kesana jadi terlupakan deh. Aku juga baru ingat kemarin itu." Dustaku. Cuma ini yang bisa aku ceritakan pada Alvin. Jo bilang tempat itu harus tetap terahasiakan bahkan dari Alvin. Entah alasannya apa.

"Kalau begitu aku ingin melihatnya setelah dari sini."

"No! Gak boleh!"

Aku refleks menaikkan nadaku. Alvin mengerutkan alisnya bingung dan tidak terima.

"Kenapa?"

"Tempatnya masih kotor dan berantakan banget, Vin. Jadi, kamu gak akan nyaman kalau disana." Lagi-lagi aku berbohong. Aku benar-benar benci menyembunyikan sesuatu karena sangat merepotkan.

"Aku kan biasa ngeliat kamar kamu porak poranda seperti habis kena puting beliung. Kenapa heboh banget?" Alvin tetap bersikukuh.

"Ini beda, Vin. Sepuluh kali, bukan.. bukan.. Seratus kali lebih berantakan dari kamar aku biasanya. Nanti saja kalau sudah terkendali baru aku ajak kamu ya."

My Secret AgentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang