.
.
.
.
.
.
.
.
.
.Jo mengambil kesempatan. Dia langsung menendang pria terdekatnya. Keempat pria lainnya sontak menyerang Jo karena serangannya yang tiba-tiba.
Sedangkan pria yang kepalanya terkena lemparan bola baseball-ku tidak memperdulikan rekannya dan malah berjalan kearahku. Dan sialnya, dia adalah pria berbadan paling besar diantara yang lain.
Takut? Sebenarnya iya, tapi aku tidak bisa lari begitu saja dari pertarungan ini. Aku memberanikan diri. Semoga saja tubuhku masih ingat dengan setiap gerakan karate yang aku pelajari.
Jo masih sibuk berkelahi melawan empat pria. Aku tidak terlalu sempat memperhatikannya. Pria didepanku semakin mendekat. Tongkat baseball aku angkat lalu aku memasang kuda-kuda, bersiap dengan serangan apapun.
Pria itu kini dalam jangkauan. Dia mengayunkan lengan hendak memukulku dengan ekspresi marah tanpa ampun. 'Tidak peduli walau kau wanita aku akan menghajarmu'. Begitu kata raut wajahnya.
Sebelum pukulannya menghampiriku, aku berusaha menghadangnya dengan tongkat ditanganku. Gerakannya lumayan cepat. Berkali-kali dia berusaha mendaratkan pukulan di wajahku, namun berkali-kali pula aku halau dengan tongkatku.
Aku tidak punya kesempatan untuk balas menyerang. Gerakan pria ini begitu cepat dan membabi-buta. Aku hanya bisa terus menghindarinya.
Aku terus melangkah mundur karena menghindari serangan. Sepersekian detik jeda waktu dia tidak melayangkan pukulan. Itu kesempatanku untuk membalas. Kini aku yang melayangkan tongkat baseball. Sasaranku masih kepalanya. Dia juga berhasil menghalau pukulanku dengan tangannya. Tak menyia-nyiakan kesempatan, kali ini aku menendang perutnya. Dia terhuyung kebelakang tapi tidak terjatuh.
Aku dapat melihat amarahnya yang semakin menjadi. Dia menerjangku, merebut tongkat baseball dari tanganku dan membuangnya, lalu dengan cepat memukul wajahku beberapa kali. Aku terjerembab jatuh. Nyeri terus menjalari wajahku. Aku refleks memegang pipiku yang sepertinya sebentar lagi akan ada darah yang mengalir disana.
Aku sempat mendengar Jo meneriakkan namaku, tetapi aku tidak bisa beralih fokus padanya. Pria didepanku belum mau berhenti. Dia memaksaku berdiri dengan menarik kerah blazer-ku lalu memasang ancang-ancang akan memukulku kembali. Sebelum hal itu terjadi, aku meludah tepat diwajahnya. Saliva bercampur darah menghiasi wajah pria itu. Refleks dia melepaskan cengkramannya. Aku langsung berlari kearahnya, dengan cepat meninju perutnya. Sebelum dia tersadar sepenuhnya, aku terus memukuli wajah, perut, bahkan alat kelaminnya, hingga akhirnya dia terduduk dilantai hampir kehilangan kesadaran. Aku memberi sentuhan terakhir, menendang kepalanya dari atas, dan akhirnya dia pun terkulai lemas.
Nafasku terengah. Ini kali pertamaku menghajar seseorang diluar pertandingan resmi. Anehnya bukan sesal yang menyelimutiku melainkan kelegaan. Setidaknya aku tidak dihajar hingga babak-belur pikirku.
Aku seketika teringat Jo. Ketika aku melihatnya, dia juga baru saja memberikan tinju. Empat lawannya sudah tak sadarkan diri diatas lantai. Aku segera berlari menghampirinya.
Ralat! Aku berjalan cepat untuk tiba dihadapan Jo. Tubuhku tidak kuat berlari kencang akibat berkelahi dengan pria berbadan besar barusan. Jo juga segera menghampiriku begitu dia memastikan lawannya sudah tidak berdaya.
"Kamu baik-baik saja?" Tanya Jo sangat khawatir sambil mencari setiap luka ditubuhku.
"Ya. Hanya luka sedikit. Bagaimana denganmu?"
"All well. Wajahmu lebam dan bibirmu berdarah. Kita harus mengobatinya sekarang."
"It's fine. Ini cuma luka kecil."

KAMU SEDANG MEMBACA
My Secret Agent
RomanceSera menatap takut rumahnya yang sedang dilahap si jago merah. Dia berteriak histeris memanggil ayah dan bundanya. Kejadian nahas itu menyeret Sera secara paksa untuk menghadap penderitaan pilu. Oh, tentu saja dia belum siap untuk semua itu. Namun...