.
.
.
.
.
.
.
.
.
.Seperti yang aku katakan pada Jo tadi, aku mandi lalu memakan makanan instan. Aku menyelesaikannya dengan cepat, agar aku dapat berbaring santai diatas kasur sambil bertelepon dengan Jo. Aku memakai headset dan memulai panggilan telepon.
"Halo." Suara Jo mengangkat telepon bahkan sebelum nada dering berbunyi.
"Cepat sekali kamu mengangkatnya."
"Karena aku daritadi sudah menunggumu. Kamu sudah makan malam?"
"Sudah, makanan yang Leo bawa tadi. Aku hanya memanaskannya di microwave."
"Apa yang tadi kalian obrolkan hingga berjam-jam?"
"Topik yang tidak bisa kamu bahas dengannya. Leo orang yang menyenangkan. Kami sudah menjadi teman sekarang."
"Wow. Apa itu sesuatu yang patut dirayakan?"
"Mungkin, karena aku melakukan sesuatu yang tidak bisa dilakukan seorang Jonathan William."
"Aku bukan tidak bisa melakukannya, hanya Leo-nya saja yang menjaga batasan denganku."
"Tidak.. Tidak.. Dia berkata bahwa kamu tipe orang yang memasang garis batasnya."
"Benarkah? Well, dan nyatanya hanya kamu yang bisa menyebrangi garis batas itu, Sera."
"Sepertinya begitu."
"Jadi kalian hanya membicarakanku selama berjam-jam?"
"Sedikit tentangmu, sisanya Leo bercerita tentang kehidupan kampus, dan sebagainya."
"Kamu nyaman tinggal disana?"
"Sejauh ini sangat nyaman malahan. Bagaimana dengan Ibumu?"
"Mom sudah tidur. Dia terlihat lelah tadi."
"Apa Ibumu sudah tahu bahwa aku tinggal disini?"
"Aku belum sempat membicarakannya. Tenang saja, Sera. Mom orang yang sangat baik."
"Aku tahu."
Kami diam sejenak. Aku memikirkan tentang suatu hal yang aku bahas dengan Leo tadi, bahwa Jo pernah melenyapkan nyawa seseorang. Aku masih penasaran tentang itu dan ingin mendengar langsung darinya. Apa Jo akan marah jika aku bertanya tentang itu?
"Uhmm, Jo.." Panggilku ingin bertanya, tetapi masih sedikit ragu.
"Yeah?" Suara Jo sangat lembut di telingaku. Semoga dia tidak marah dengan pertanyaanku nanti.
"Boleh aku bertanya sesuatu padamu... tentang suatu hal yang mungkin sangat sensitif?" Ucapku secara perlahan.
"Tanyakan apapun yang kamu inginkan, Sera."
"Apa kamu... pernah... hmm.. mem-bunuh.. seseorang?" Tanyaku akhirnya dengan masih nada ragu.
Hening diseberang sana. Jo tidak menjawab untuk sesaat. Apa dia tersinggung dengan pertanyaanku? Atau aku rasa dia kaget dengan pertanyaanku yang tiba-tiba. Wajar memang.
"Hmm maaf jika aku tiba-tiba bertanya hal ini, hanya saja kamu seorang agen rahasia, dan aku pikir.." Lanjutku lagi karena Jo tidak kunjung menjawab. Aku jadi tidak enak hati. Namun, belum selesai aku bicara, Jo memotong ucapanku.
"Pernah."
"Apa?"
"Aku pernah melakukannya, Sera. Membunuh seseorang."
Kami terdiam lagi. Aku terlalu terkejut dengan jawabannya. Aku pikir dia akan beralasan atau berbohong, tapi ternyata Jo menjawabnya tanpa ragu. Aku malah bingung bagaimana harus bereaksi.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Secret Agent
RomansaSera menatap takut rumahnya yang sedang dilahap si jago merah. Dia berteriak histeris memanggil ayah dan bundanya. Kejadian nahas itu menyeret Sera secara paksa untuk menghadap penderitaan pilu. Oh, tentu saja dia belum siap untuk semua itu. Namun...