Action

25 3 0
                                        

.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

Aku menatap langit-langit kamarku. Disana seperti terpasang proyektor dan sedang menampilkan reka adegan kejadian beberapa jam yang lalu. Adegan saat di pantai, saat aku bersama Jo, saat cahaya matahari terbenam sedang bersinar.

Otakku belum bisa berhenti mengingatnya. Kejadian itu terus berulang, bahkan bibirku masih bisa mengingat bagaimana rasanya. Perasaanku campur aduk. Kupu-kupu dalam perutku menggelitik. Jantungku berdegup lebih kencang. Pipiku pun ikut memanas seperti sedang di sauna.

Aku masih mengingat dengan jelas bagaimana Jo menciumku, bagaimana rasanya saat bibir kami bersentuhan. Dia menciumku dengan lembut, tanpa tuntutan apapun, hingga beberapa menit lalu dia menjauhkan wajahnya. Aku membuka mataku, dan aku lihat Jo menatapku. Tatapan yang sama sekali tidak ku mengerti apa artinya, dan saat itu juga aku tersadar matahari telah tenggelam sepenuhnya.

"Mataharinya sudah tenggelam." Kataku spontan.

Jo berdehem sambil tersenyum kecil lalu berkata, "Ayo kita pulang."

Setelah itu tidak apa percakapan apapun diantara kami. Bahkan selama perjalanan panjang yang memakan waktu lebih dari 2 jam. Aku menatap keluar jendela mobil, lebih tepatnya menyembunyikan pipiku yang tidak kunjung reda dari kemerahan, serta berusaha mengatur detak jantungku agar lebih tenang.

Begitu juga dengan Jo. Dia hanya terdiam dengan ekspresi tenangnya. Aku tidak tahu apa yang ada di pikirannya. Mengapa dia melakukan itu? Apa dia menyukaiku kah?

Sebenarnya aku butuh penjelasan dari Jo. Namun sepertinya tidak saat ini. Pikiranku terlalu sibuk, sehingga penjelasan apapun tidak akan bisa dicerna otakku.

Aku sudah terbaring seperti ini selama sejam, mereka ulang adegannya, mencari alasan mengapa itu terjadi, kembali mereka ulang, terus seperti itu tanpa henti.

Jujur aku bingung. Itu pengalaman pertamaku. Apakah itu suatu hal yang wajar terjadi walau tidak ada hubungan apapun diantara kami? Atau aku seharusnya marah dan mencaci karena dia berperilaku seenaknya?

Namun disisi lain aku bahagia. Momen saat bersama Jo membuatku senang. Aku sudah menyadari bahwa aku menyukainya, dan suatu kontak fisik dengan orang yang disukai bukankah hal menyenangkan yang membuatmu berbunga-bunga?

Apakah aku sepolos dan sebodoh itu? Apakah aku mudah dimanfaatkan? Atau jangan-jangan aku murahan?

Shit! Kepalaku rasanya mau pecah dan wajahku tidak berhenti memanas. Belum lagi kamarku masih seperti kandang babi, tapi aku masih terbaring bengong tak bergeming. Jangankan berganti pakaian, mandi saja belum aku lakukan.

Tok.. Tok..

"Ra.. Aku boleh masuk?" Suara Alvin mengetuk pintu dan memanggil dari luar kamarku.

"Masuk, Vin."

Begitu Alvin masuk, dia langsung menghampiriku dan duduk dipinggir ranjang.

"Kamu ngapain?"

"Tidak Tahu."

"Kamu baik-baik saja? Wajahmu merah seperti tomat." Ucap Alvin lalu memegang keningku. "Astaga, Ra. Kamu demam."

"I'm fine." Dammit! Ciuman pertama membuatku langsung sakit. Efek sampingnya luar biasa.

"Aku panggil mamah ya bawain kamu obat."

"No. It's okay I'm fine. Cuma sedikit kelelahan aja."

"Kamu udah makan?"

Tunggu. Aku lupa hal yang satu itu. Kalau dipikir-pikir aku terakhir makan siang tadi, dan belum makan lagi sampai sekarang. Dari pantai Jo langsung mengantarku pulang (without saying anything remember?) tapi herannya aku tidak merasa lapar.

My Secret AgentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang