19. Cerita apa lagi ?

581 90 45
                                    

Irene mengikat asal tali baju tidurnya sesaat setelah mematikan alarm yang sudah berbunyi dua kali. Semalam ia bertugas dan baru pulang jam delapan pagi. Alhasil sekitar jam sebelas ia baru membuka matanya dan langsung menuju dapur untuk membuat segelas kopi. Kemudian, setelah gelas kopinya terisi dengan penuh, ia melangkah lagi ke arah ruang tamu.

Matanya melirik sejenak pada sofa berwarna tosca yang mengarah pada layar TV yang masih menyala. Ia menghela napasnya sebentar kemudian meraih remote TV dan mematikan layarnya. Ia pun mendekat dan membenarkan selimut cokelat yang merungkup tubuhnya.

Dan ketika ia hendak pergi meninggalkannya, tangannya tertahan dan ada gerakan lembut yang menariknya hingga terjatuh di atas pangkuan sosok tersebut. Irene tersentak dan sedikit mengangkat gelasnya, takut minuman panas itu jatuh dan tumpah mengenai keduanya.

"Sehun!" Irene menyikut perutnya dengan gerakan gemas.

"Pagi...," suara serak itu membuat Irene tiba-tiba diam. Terhipnotis dan tidak berani beranjak sedikit pun dari sana. Ada debaran yang menggila ketika mendengar serak itu menyentuh pendengarnya. Ada dentuman hebat yang membahayakan ketika sebuah kecupan didaratkan pada bahunya yang tertutup kain tipis.

"Papa kamu udah balik?" tanya Sehun yang dijawab dengan anggukan kecil dari wanita itu. Ia menyesap kopinya sedikit demi sedikit untuk menghilangkan kegugupannya.

"Kamu bukannya jadwal siang ya hari ini?"

Sehun mengangguk dalam pelukannya yang semakin erat. Ia membenamkan kepalanya makin dalam pada ceruk leher yang sudah ia singkirkan rambutnya hingga aroma tubuh Irene dapat ia hirup semakin kuat.

Papa Irene memutuskan untuk tinggal di rumah Irene hanya saat weekend saja. Alasannya, ia tidak mau Irene merasa tidak nyaman dengan kehadiran papa-nya, terlebih setelah mengetahui bahwa putrinya kini memiliki pacar.

Saat itu papa bilang...

"Papa pernah muda, Rene."

"Ya... jaga diri aja. Kalau merasa harus lapor ke Papa, Papa siap dengerin semuanya."

"Sehun keliatannya baik dan taat agama. Kemarin Papa dengerin alarm dia yang ngingetin untuk sholat."

Saat mendengar itu, rasanya Irene hampir memuntahkan isi perutnya ke luar. Wah? Si paling taat agama ini benar-benar sangat mampu mengambil hati Papa-nya sampai berpikir bahwa ia adalah pria yang menjunjung tinggi keagamaan.

Kasian Papa-nya...

"Kamu tuh bohongin papa tahu, ga?"

"Bohong gimana, sih?" Sehun mengernyit bingung. "Aku ngapain?"

"Papa kira kamu tuh anak baik-baik. Padahal, ga tahu aja dia." Irene menggeleng.

"Lho? Emang aku jahatin papa kamu? Atau jahatin kamu mungkin?"

"Ya bukan itu... tapi kamu tuh jauh banget dari kata anak baik-baik versi papaku."

"Kenapa? Karena... udah berhasil bikin anaknya enak terus?"

"Sehun! Apa banget sih bahasanya?" Irene mencubit otot lengannya dan berdiri dari pangkuan pria itu. "Udah sana pulang!" Irene terlihat kesal.

"Ga ngasih aku makan dulu sebelum ngusir?" Sehun ikut berdiri, melangkahkan kaki mengikuti Irene yang kini berjalan ke dapur dan menuju kulkas.

"Ga ada apa-apa. Aku belum belanja bulanan. Cuma ada roti. Mau aku---"

"Iya. Mau kamu."

Sehun menahan tangan Irene saat hendak menutup lemari kulkas, kemudian menendang kulkas itu pelan dengan kakinya hingga lampu kulkas mati tanda pintu sudah tertutup. Irene melihat tangannya yang digenggam Sehun.

Adu Rayu [HunRene] HIATUSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang