20. Dua pilihan

410 87 48
                                    




Hari ini hari Jumat, dan Sehun kedapatan jaga pagi lalu entah kenapa Ji Ah juga mendapat jam yang sama. Irene hari ini libur setelah semalam melakukan tugasnya. Sehun tahu Irene merasa sangat terganggu saat ini oleh kehadiran Ji Ah yang belum Sehun ceritakan siapa sosok itu. Apa peran Ji Ah dalam kehidupan Sehun selama ini?

Irene kerap kali berkata, "Ga... aku biasa aja." Namun setelah mengatakan itu ia cuek, tak acuh, kemudian sering marah-marah tidak jelas. Sehun mengerti perasaan itu dan ia sangat tahu Irene cemburu jika Ji Ah sudah menceritakan masa-masa kenangan mereka berdua.

Namun Sehun masih tidak ingin berkata apapun. Ia masih betah menutup ceritanya.

"Kalau gejala seperti ini muncul lagi, Bapak langsung ke rumah sakit, ya." Sehun tersenyum setelah memeriksa hasil kesehatan bapak berumur lima puluh tahun itu.

"Baik, Dok."

"Terus... jaga makannya, ya, pak. Kalau bisa makan bubur dulu. Jangan yang bersantan maupun pedas. Lambung bapak kan masih luka, jadi ga boleh makan sembarangan. Mungkin sekitar dua minggu makannya yang ringan-ringan dulu."

Bapak itu menganggukkan kepalanya paham.

"Halo, Pak...," Sehun dan si bapak menoleh ke kanan dan Sehun langsung mengerutkan dahi.

Ini ngapain sih ah...

"Halo dokter cantik." Bapak itu tersenyum semangat.

"Bapak harus dengerin kata dokter Sehun, ya? Ga boleh bandel." Ji Ah membuat wajahnya seolah-olah sedang marah.

Bapak itu tertawa dan mengangguk saja. "Pasti dokter."

Sehun menghela napasnya. Merasa sangat jengah melihat tingkah Ji Ah akhir-akhir ini yang selalu terang-terangan mendekatinya di depan pasien. Seolah ingin menciptakan image bahwa mereka adalah pasangan yang cocok.

"Kalau gitu saya pamit, ya." Sehun hendak pergi namun Ji Ah menahan tangan pria itu.

Sehun berhenti, menatap Ji Ah dan menautkan alis. "Kenapa?"

"Pak... menurut bapak saya sama Sehun gimana ?"

"Ji Ah," tegur Sehun memperingati bahwa mereka masih dalam lingkungan pekerjaan.

Si bapak menatap keduanya dan tersenyum lebar. "Ya pasti sangat serasi, dong, dokter. Satunya cantik, satunya ganteng, udah ga diraguin lagi keturunannya."

Ji Ah tertawa menanggapi itu. "Iya, kan?" Ji Ah menatap Sehun yang sudah mulai tidak sabar menghadapi tingkah wanita itu. "Tuh dengerin, Hun. Bapak ini bilang kita serasi."

"Bapak sudah boleh pulang, ya. Jangan lupa obatnya ditebus di apotek RS." Sehun tersenyum kemudian menarik tangan Ji Ah pergi dari sana.

Sehun mengajak Ji Ah keluar lewat pintu darurat dan memberhentika posisi mereka di sana. Sehun mendorong lengan wanita itu sampai Ji Ah membentur tembok. Wanita itu meringis pelan dan ketika Sehun melepaskan pergelangannya, Ji Ah merintih karena tangannya memerah akibat remasan Sehun di tangannya.

Sehun menarik napas dan membuangnya. Kepalanya sudah berat dan rasanya ia sudah tidak tahan dengan aksi Ji Ah yang seminggu ini selalu mencoba mendekatinya, berusaha mengajak orang-orang untuk beropini tentang mereka dan bahkan kerap kali bersikap manja di depannya.

"Kamu bisa berhenti?" tanya Sehun.

"Berhenti untuk apa?"

"Berhenti bertingkah seperti itu di depan orang lain."

"Maksud kamu?"

"Aku ga bodoh untuk tahu maksud kamu berucap kayak gitu ke bapak tadi." Sehun masih berbicara dengan nada tenang. Masih menahan emosinya untuk tidak meledak di depan wanita itu.

Adu Rayu [HunRene] HIATUSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang