***
Angkasa sangat merasa bersalah, ia tidak akan bisa memaafkan dirinya andai Azura benar-benar sampai trauma. Lelaki itu tahu betul, ada kamera tersembunyi di kamar Azura, saking sibuknya ia sampai lupa untuk memberi tahu gadis itu agar lebih berhati-hati lagi sebelumnya.
Dan sekarang, melihat Azura yang belum mau keluar dari kamar eyang walau malam sudah datang, ia semakin yakin untuk keputusannya.
Siang tadi, Ia dan Aizat kembali mendatangi kantor polisi, menuntut Rayyan atas segala perbuatannya pada Azura, dan meminta segala rekaman video di kamar Azura serta foto-foto yang diambilnya untuk di musnahkan segera. Takut bila ternyata Rayyan bersekongkol dengan orang lain untuk menjual rekaman tersebut.
Sore tadi juga Om Aihan dan Abyasa baru tiba, segera membantu untuk mengurus segala tuntunan dan kerugian, terlebih lagi dengan mental Azura sekarang yang sedang terguncang, gadis itu belum ingin membuka suara, tidak ada siapapun di rumah ini yang ia ajak bicara selain Aizat. Bahkan ketika gadis itu melihatnya di ujung tangga siang tadi, ia hanya melihatnya, dan menghindar ketika Angkasa akan menghampiri dan berbicara dengannya.
Angkasa baru saja selesai makan malam dengan anggota rumah yang lainnya, tentu selain Azura dan Aizat-karena keduanya tidak pernah keluar dari kamar eyang sejak magrib tadi. Angkasa juga hanya menjawab seadanya ketika Om Aihan bertanya padanya mengapa bukan ia yang menemani istrinya di dalam sana, dan sekarang lelaki itu hanya bisa menghela nafas saat kedua orang itu turun dengan pakaian yang rapi, seperti akan pergi ke suatu tempat.
"Azura ingin makan sate katanya. Kita keluar sebentar, ya Eyang" Aizat meminta izin. Angkasa memperhatikan Azura di belakang lelaki itu yang hanya tertunduk sembari memilin ujung kemeja Aizat.
Setelah Eyang memberi izin, keduanya menghilang di telan pintu utama.
"Serius Azura nggak akan bicara sama kamu?"
Angkasa mengalihkan perhatiannya pada Abyasa yang kini menatapnya. "Nggak gitu, kita tahu Azura paling dekat sama Aizat. Aku nggak apa-apa kok, Mas. Untuk sekarang aku juga ingin agar Azura tetap merasa nyaman"
Kakak sepupunya itu terlihat mengangguk, lalu kembali fokus menonton tv di depannya. Namun seperkian detik selanjutnya kembali menatap Angkasa dan bertanya, "Oh iya. Anara... Gimana kabarnya?".
Suaranya terdengar canggung, seperti ada yang tertahan. "Baik kok. Kemarin ikut Sidang tesis aku juga".
Lalu kemudian keduanya tenggelam dalam masalah pekerjaan di kantor, membahas peluncuran aplikasi yang baru-baru saja di buat oleh tim, memeriksa kelayakan aplikasi beberapa kali sebelum benar-benar resmi launching. Melupakan fikirannya tentang apa yang harus ia lakukan agar Azura mau bicara padanya.
***
Pukul sebelas malam Angkasa terbangun dari tidurnya karena merasa haus, ia berjalan melewati beberapa anak tangga sebelum kemudian mencapai dapur. Segera mengambil segelas air dan meneguknya begitu saja, setelah itu menaruh gelas bekas ke washtafel.
Angkasa hendak kembali, namun ia urungkan ketika mendapati stoples susu di atas kabinet, ia meraih susu itu dan menaruhnya dalam gelas beberapa sendok, menyeduhnya dengan air panas dari termos, lalu berniat membawakan susu tersebut pada Azura.
Ketika Angkasa mendorong pintu kamar eyang yang tidak terlalu rapat, ia menemukan Azura yang masih duduk bersandar di headboard dengan dua tangan yang memeluk dirinya.
Angkasa mendekat, menaruh gelas itu di nakas lalu duduk di sisi ranjang. Menghadap perempuan itu.
"Kamu... Baik-baik aja, kan?"
Angkasa bertanya ragu, tentu saja Azura sedang tidak baik-baik saja. Pasti perempuan itu harus terjaga dari tidurnya karena takut, merasa was-was, khawatir akan kejadian yang lalu.Azura tidak menatapnya, namun ia hanya memberi gumaman panjang.
Angkasa merasa jika Azura sedang tidak ingin diganggu, melihat responnya yang seperti itu.
"Yaudah... Aku ke kamar dulu. Susunya jangan lupa di minum"
Angkasa berdiri dan mengambil langkah menuju pintu, namun suara Azura menahannya, ia berbalik dan menatap gadis itu.
"Bisa temani aku, malam ini?" Tanyanya ragu.
Sempat terdiam sebentar, akhirnya Angkasa mendekat setelah menyetujui. "Aku akan tidur di sofa kalau kamu-"
"Tidur disini aja, sama aku".
Dan Angkasa menurut, mengambil tempat di sisi ranjang yang tadi sempat didudukinya.
Azura masih duduk, jadi Angkasa juga hanya duduk dan bersandar di headboard. Tangannya meraih susu diatas nakas, mengulurkannya pada Azura.
"Diminum. udah dingin, kok"
Azura menerima uluran itu, lalu memegang gelas dengan dua tangannya. Panas dari gelas menghantarkan hangat pada tangannya yang terasa dingin.
Untuk beberapa saat hanya ada keheningan. Angkasa tidak tahu harus memulai percakapan selerti apa, karena keduanya baru saja saling bicara sejak lelaki itu datang subuh tadi.
"Aku udah sidang tesis..." Ceritanya. Berusaha mencari topik.
"Aku tahu..."
"Wisuda nanti... kamu bisa, kan ke jakarta?"
Angkasa menatap Azura yang masih menunduk memperhatikan gelas susu di tangannya. Dan lagi-lagi Azura hanya menjawabnya dengan gumaman setelah terdiam cukup lama tadi.
"Bintang..." Panggilnya lembut, berharap gadis itu melihatnya. Namun setelah lama, Angkasa menemukan pundak gadis itu bergetar.
Ia kemudian bergerak mendekat, meraih pundak itu dan mendekapnya erat.
"Aku minta maaf..." Gumam Angkasa, ia benar-benar merasa bersalah.
Dan pundak itu semakin keras bergetar. Angkasa merasa hatinya sangat sakit, seperti diiris sebilah silet yang tanpa henti. Matanya juga memanas, menimbulkan bening-bening air yang menumpuk di ujung mata sebelum terjatuh. "Maafin aku..." Gumamnya lagi.
Angkasa hanya membiarkan gadis itu menangis di pelukannya sampai gadis itu mengantuk, sebelumnya telah menyimpan gelas susu di nakas yang sama sekali belum disentuh sedikitpun, lalu membaringkan gadis itu dan kembali menjaganya dalam sebuah lindungan pelukan.
Beberapa kali Angkasa mencium puncak kepalanya, menghirup rambut yang menguarkan harum matcha yang segar, membawa kepala gadis itu untuk meniduri lengannya dan memeluknya sepanjang malam.
Malam itu, Angkasa berjanji untuk segera menyelesaikan urusan kuliahnya dan kembali untuk tinggal disini, bersama gadis itu, yang rapuh dalam pelukannya.
***
Saat tahu Angkasa ada di rumah ini, Azura berfikir untuk menghindarinya karena saking malu, bagaimana bisa seorang istri tidak bisa menjaga dirinya saat suaminya sedang tidak ada, terlebih lagi Angkasa sudah memperingatinya berkali-kali tentang bahaya manusia bernama Rayyan itu.
Azura malu, karena itu ia tak berani menatap Angkasa, tak berani mengajaknya berbicara, berfikir bahwa lelaki itu pasti jijik padanya.
Namun setelah menahan diri seharian untuk tidak masuk ke dalam pelukan yang ia rindukan itu, malam ini akhirnya ia kalah juga, tanpa malu lagi menangis tersedu-sedu dalam pelukan aman Angkasa.
Ia tidak bicara, hanya menangis disana, berharap Angkasa mau memaafkannya, berharap Angkasa masih mau menerima dirinya. dan saat terbangun dini hari, mendapati lengan bugar itu memeluk pinggang rampingnya, menyuruk di antara helaian rambutnya, Azura merasa dunia akan baik-baik saja selanjutnya.
Azura memperdalam pelukannya, merapat lagi sampai hidungnya menyentuh jakun lelaki itu, Azura menjauh sebentar hanya untuk memberi kecupan ringan pada jakun yang tengah tenang itu, menggumamkan terima kasih sebelum kembali tertidur disana.
Saat pagi datang, burung mulai berkicau, dan ayam mulai berkokok, Angkasa bangun lebih dulu, memperhatikan wajah yang tengah pulas itu di depannya, lalu ketika Azura mengerjap pelan, seolah tahu jika sedang di perhatikan, Angkasa tidak mengalihkan tatap.
Keduanya saling menatap, mengerjap pelan, sampai Azura bergerak lebih dulu, memberi kecupan hangat di kening lelaki itu. "Jangan pergi lagi..." Bisiknya parau.
KAMU SEDANG MEMBACA
This is Hurt
RomanceCompleted!!! Ketika Eyang meminta Azura dan Angkasa menikah, tante Anggi-ibu dari lelaki itu adalah orang yang pertama menolak. *** Azura hanya mangut saja ketika Eyang berniat menikahkan dirinya dengan Angkasa-sepupu satu kalinya. Ia berfikir bahw...