***
Tepat jam tujuh malam keduanya sampai dan memasuki ballroom yang di dekorasi dengan sangat mewah. Perpaduan antara warna putih dan lampu-lampu yang emas ke kuningan menambah kesan mewah. Azura menggandeng lengan suaminya dan melewati beberapa meja lingkar yang telah di isi oleh para tamu, keduanya bergerak ke arah kanan, mendapati meja lingkar sama yang kini di huni oleh beberapa orang yang Angkasa sama sekali tidak kenal.
"Hai, selamat datang", seorang pria menyambutnya. Azura menyalami lelaki itu dengan sopan.
"Gimana kabarnya, Ra" tanya wanita di samping lelaki tadi. Azura mendekat pada wanita itu, menyalami dan setelahnya bercupika-cupiki. "Baik banget, kak. Kakak gimana kabarnya?"
"Baik juga"
Azura menatap Angkasa sebentar, lalu kembali menghadap pada kerumunan. "Hai, kenalin..."
"Saya Angkasa, suaminya Azura"
Mereka saling berjabat tangan. Lalu keduanya duduk disana.
Angkasa tidak mengenal satupun teman Azura disana, jadi ia tidak tahu harus menimbrung dan memulai pembicaraan, tapi untungnya teman-teman Azura tidak banyak bertanya, sehingga Angkasa merasa lebih nyaman menyaksikan acara pada malam ini.
"Ketemu Azura dimana?" Seorang wanita yang kebetulan duduk di sisinya bertanya.
Angkasa melihat Azura masih sibuk bercengkrama dengan yang lainnya, jadi Angkasa rasa menjawab pertanyaan wanita ini tidak ada dalahnya."Kamu akan ketawa, tapi kami adalah sepupu"
Wanita itu terlihat terkejut, lalu setelahnya terkeke. "Kok bisa? Di jodohin?"
Angkasa mengangkat dua bahunya, dengan dua ujung bibir yang turun ke bawah.
"Kalian teman SMA?" Tanyanya penasaran, Dan wanita itu mengangguk.
"Bagaimana dia sekolah?" Wanita itu menatapnya, "Apanya?"
Angkasa melihat Azura dengan seksama, dan wanita di sampingnya mengikuti tatapan itu. "Bagaimana dia di sekolah dulu, apakah dia punya teman, ada masalah, ada yang nggak suka dia..., Yah semacam itu"
Wanita berdehem panjang, wajahnya tampak berfikir, dan ibu jari serta telunjuknya mengapit dagu runcing. "Dia bukan tipe cewek yang terkenal di sekolah, biasa aja, nilainya juga nggak bagus-bagus amat..."
"Tapi bukan berarti dia punya musuh, cuma memang nggak punya teman dekat..."
"Satupun?" Tanya Angkasa.
"Yah, satupun"
Angkasa merasa sesak di dadanya, hal ini sudah lama di ketahui nya, bukan sekali dua kali wanita itu mengatakan padanya bahwa ia tidak memiliki teman yang benar-benar teman dekat, beberapa kali juga eyang mengatakan bahwa wanita itu kesepian, menderita. namun Angkasa tak habis pikir, dengan keramahan dan baik hati Azura, semua itu bisa ia dapatkan dengan mudah. Atau memang selama ini Azura yang membatasi dirinya, memberi garis pada orang-orang agar tidak mendekatinya.
"Dia masih sering pingsan?"
Pertanyaan itu menghancurkan lamunnya. Angkasa menatap wanita di sampingnya dengan tatapan tanya. "Dia sering pingsan di sekolah"
Satu fakta baru yang ia ketahui, dan juga...
"Sering jatuh juga"
Apa? Gimana?
"Sering jatuh, maksudnya?"
Lalu wanita itu menceritakan, beberapa kejadian tentang Azura yang jatuh tiba-tiba, ketika ia akan pergi ke lapangan dan jatuh begitu saja, atau saat ia di parkiran hendak mengambil motornya, atau saat ia akan masuk lab kimia, dan masih banyak lagi...
"Waktu itu dia bilang kakinya keram"
Angkasa yakin ada yang tidak ia ketahui. "Sering banget?" Tanyanya. Dan wanita itu mengangguk.
***
Selama perjalan pulang, Angkasa hanya diam saja dengan segala pemikirannya, fakta bahwa istrinya sering pingsan semasa SMA membuatnya bertanya-tanya. Libur semester ganjil terakhir kali juga Azura sempat pingsan dua kali, lalu liburan di Raja Ampat hari itu, ia tenggelam padahal ia pandai berenang, alasannya waktu itu kakinya keram.
"Kamu bosan, yah, tadi?", Angkasa menoleh, mendapati Azura yang kini menatapnya. Dua tangan wanita itu di simpan di pangkuan.
"Nggak kok"
"Terus kenapa diam aja? Lagi nggak mood, yah?" Angkasa menggeleng, lalu menepikan mobilnya, memarkir di dekat jembatan pelangi yang ramai pengunjung.
"Jalan-jalan, yuk!" Ajaknya. Ia kemudian keluar dari mobil setelah meraih jaket di kursi belakang. Menghampiri Azura yang sudah menunggunya, menyampirkan jaket yang di bawanya di pundak wanita itu.
Keduanya berjalan, menatap kota yang masih ramai, kendaraan lalu lalang, dan pedagang-pedagang yang sibuk. Azura mengelurkan selembar uang saat gerombolan anak kecil berjalan menghampiri mereka. "Di bagi-bagi, yah" katanya setelah memberikan uang seratus. Gerombolan bocah itu pergi, meninggalkan mereka setelah berterima kasih dan berpamitan.
Angkasa semakin terpesona, ini adalah salah satu kebiasaan Azura yang perlu ia contoh, suka memberi dan ringan tangan.
"Kamu nggak dingin?" Tanya Angkasa setelah sadar wanita itu menggunakan dress berbahan tipis, hidung dan area pipinya memerah, ada asap tipis yang keluar dari hidungnya.
Tidak ada kata, mereka hanya berjalan terus sampai memasuki area taman, tidak menemukan tempat duduk yang kosong, mereka akhirnya memilih berdiri, bersanda pada pagar yang membatas. Ada kolam yang lumayan luas di bawah sana, airnya terlihat tenang, ada suar kodok yang bernyanyi, ribut, ada juga suara jangkrik, tapi keluh kesah, tawa bahagia manusia-manusia yang ada disana lebih mendominasi.
Udara semakin dingin, dan tanpa sadar Azura mengosok dua tangannya. Angkasa yang melihat itu meraih dua tangannya, membawanya dalam genggaman hangat, lalu meniup-niup talapak tangan itu, selanjutnya di taruh di pipi.
Azura bergerak mendekat, masuk dalam pelukan suaminya, dua tangan mereka saling menggengam di sisi tubuh, dan entah mengapa, Angkasa merasa sedih, jadi ia menumpukan wajahnya di bahu wanita itu.
"Aku sayang sama kamu"
Azura tersenyum mendengar pengakuan itu, melepas genggaman tangan mereka lalu melingkarkan nya di pinggang Angkasa, merengkuh suaminya dan membalutnya dalam pelukan hangat.
Tapi pengakuan itu membuatnya khawatir, mengingat hasil pemeriksaan kesehatannya minggu terakhir.
"Itu udah cukup, kok, buat aku"
Azura melepaskan pelukannya, menatap mata itu dalam, menguncinya, menutup perlahan ketika dua wajah mereka perlahan mendekat, lalu hangat itu kembali hadir, bahkan sampai ke dalam hati, Azura bisa merasakannya.
Tidak ada tuntutan, hanya ada lembut disana, lalu setelah Azura merasa butuh nafas, ia melepasnya lebih dulu, memberikan kecupan kuat sebelum kembali dalam pelukan suaminya.
***
Sepanjang hidupnya, Azura tidak memiliki alasan lain untuk baik-baik saja selain Eyang, hingga ketika wanita tua itu mulai sakit-sakitan, Azura berfikir bahwa tidak ada lagi gunanya bertahan dari perasaannya, namun cinta itu hadir, pada Angkasa yang tidak pernah menerimanya, dan sekarang ia menjadi rakus, karena menginginkan kehidupan yang lebih lama walau Angkasa pada akhirnya tidak bersamanya.
Awalnya ia ingin melihat Angkasa lebih lama, ia ingin melihat lelaki itu tersenyum lebih banyak, ia ingin melihat lelaki itu hidup bahagia, walau tidak bersamanya.
Mengetahui bahwa lelaki itu menyayanginya, ia semakin rakus, ingin hidup bersama lelaki itu, menjadi suaminya sampai seumur hidup, melahirkan anak yang tampan seperti Angkasa jika laki-laki, yang penyayang seperti Angkasa jika perempuan. Semuanya tentang Angkasa, Suaminya.
Keningnya mengerut, rasa sakit di punggungnya sedikit demi sedikit jadi terasa semakin menyengat, Azura melengkungkan tubuhnya keatas sedikit, berharap sakit itu mereda, namun dalam sedetik kemudian, sakitnya menjadi-jadi, ia merintih, dan air matanya mulai jatuh mengalir.
Rasa sakit itu kini menyebar, turun ke kaki, lalu dua tangannya, ia merasa keram, kebas, tidak bisa bergerak, dan itu adalah hal yang paling menyedihkan untuk kondisinya, karena ia tidak bisa berbuat apa-apa untuk dirinya sendiri.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
This is Hurt
RomanceCompleted!!! Ketika Eyang meminta Azura dan Angkasa menikah, tante Anggi-ibu dari lelaki itu adalah orang yang pertama menolak. *** Azura hanya mangut saja ketika Eyang berniat menikahkan dirinya dengan Angkasa-sepupu satu kalinya. Ia berfikir bahw...