39. Bahagia Seorang Bintang

253 22 1
                                    

***

Ada banyak hal yang harus Azura syukuri dari pada yang harus ia sedihi. Kelahiran anak pertama mereka adalah kebahagiaan terbesar yang ia tidak dapat dari orang lain. Anak pertama mereka, seorang putri yang dangat mirip dengannya, semuanya. Hidungnya yang mungil, matanya yang besar, bibirnya yang kecil dan tidak tebal, alisnya yang rapih dan pipinya yang merona. Tidak ada Angkasa disana, dan itu membuatnya khawatir.

Bagaimana jika Angkasa tidak mengakuinya karena tidak ada dirinya disana? Atau bagaimana jika Angkasa bersedih karena tidak ada dirinya disana?

Lamunannya buyar karena sebuah jentikan. Ia tersenyum simpul mendapati suaminya menatapnya dengan wajah heran. "Mikirin apa?"

Azura memperbaiki duduknya, dan berniat berterus terang. "Kamu nggak kecewa sama aku, kan?"

Angkasa mengernyitkan kening, "Karena?"

"Bayi kita nggak mirip kamu." Katanya dengan putus asa. Angkasa tersenyum, ia tidak akan pernah lupa momen ini. "Semuanya memang kamu, Aku melihat kamu disana seperti ketika kamu masih kecil, tapi ingat..."

"Walaupun tidak ada wajah aku disana, dia memiliki darahku, memiliki sebagian dagingku, itu saja sudah cukup bagiku. Aku bahagia, Bintang. Bahagia sekali."

Jemari mereka saling mencari dan akhirnya bertaut, Angkasa merengkuh istrinya, membawanya dalam dekapan hangat yang akhir-akhir ini selalu ia dapatkan. Tatapan keduanya terpaku pada bayi mungil yang sedang tertidur dengan tenang, dan hal itu membuat Angkasa terkekeh. "Kenapa ketawa?" Tanya Azura, wanita itu masih berbetah-betah di dalam rengkuhan suaminya.

"Nggak nyangka aja sekarang kita udah punya bayi, mau di kasih nama siapa?"

Azura bangun dari rengkuhan suaminya, wajahnya tampak berfikir, memilah-milah nama yang sudah ia siapkan jauh-jauh hari dalam kepalanya.

"Skaya?" Gumamnya dengan nada tanya, Angkasa menggeleng pelan, "Nanti anak kita di bully karena temannya manggil Kaya, Selai kaya?"

Azura terkekeh, "Iya juga." Gumamnya.

"Gimana kalau Qatrun Nada?" Usul Angkasa, "Bisa di panggil Nada nanti."

Azura reflek menolak, "Nanti teman mereka manggilnya Terong, atau paling parah malah meleset ke Panada, kue panada."

Angkasa mendengus lesu, "Apa dong!" Serunya putus asa. Azura meraih handphonenya dan kembali membuka aplikasi yang ia unduh beberapa bulan lalu, aplikasi yang menyediakan nama-nama bayi dari huruf A sampai Z.

"Amilah"

"Gita Safitri"

"Nurul"

"Cinta Kuya"

Angkasa menggeleng terus menolak, sementara Azura terus membacakan nama-nama yang tertera, lama mereka melakukan itu, sampai keduanya lelah sendiri dan menyerah. "Apa dong? Masa tanpa nama?" Azura mengeluh.

Sementara suaminya mengambil alih handphone itu. "Kamu maunya berawalan huruf apa?" Tanya Angkasa.

Azura kembali fokus setelah beberapa saat menjadi lesu. "Huruf A, dong. Ainsa Angkasa, Azura dan anak kita harus berawalan A"

Angkasa mengangguk paham. "Astra Aurelia Alba" bacanya pelan, ia kemudian melanjutkan, "Bintang Emas, Alba artinya orang yang adil, gimana?" Tanyanya.

Azura mengangguk pelan, "Astra Aurelia Alba, bagus. Namanya bagus, di panggilnya apa?"

"Astra?"

Azura tersenyum, ia lalu kemudian mendekati box bayi dan mengambil bayi itu kedalam gendongannya. "Astra, artinya Bintang, sama seperti nama Ibu." Cicitnya dengan riang, ia mencium dalam kening putrinya. Angkasa yang melihat itu jadi terharu, untuk kesekian kalinya.

***

Setelah melewati beberapa hari di rumah sakit, bayi mungil itu akhirnya bisa di bawa ke rumah. Kelahiran Astra sangat pas dengan waktu libur beberapa sepupu Azura, seperti si kembar Aika dan Aila dan juga Azhila tentunya. Selain itu ada juga pasangan Om Aibar dan Tante Biba yang menyempatkan datang untuk menyambut kebahagian keluarga. Astra, adalah pelipur lara bagi mereka setelah melewati hari-hari yang tidak ada Eyang disana.

Si kembar Aika dan Aila sejak tadi tidak beranjak dari tempatnya, keduanya menjadi penjaga bayi mungil yang tetap tidur dengan nyaman, sesekali akan menangis dan Azura datang untuk memberinya asi, dalam keadaan itu, Aika menyelutuk. "Aika jadi pengen bayi juga, deh," Gumamnya gemas.

Aila menatapnya horor lalu menjitak kepala kembarannya dengan tidak santai, "Kamu kira bayi bisa di beli di Superindo, hah? Ngadi-ngadi deh, nih anak!"

Azura tersenyum, wanita itu memberi isyarat agar kedua gadis manis itu tidak berbicara dengan keras.

"Berarti aku harus nikah dulu, habis itu di unboxing, habis itu hamil deh. Gampang kok, itu."

Aila tak habis pikir, jadi ia kembali menjitak kepala kembarannya, "Kamu pikir di unboxing nggak sakit?" Perempuan itu menoleh pada Azura, "Sakit kan, kak?"

Azura tersenyum malu, ia jadi bingung. "Iya sih, sakit. Kakak kemarin sampai berdarah."

Aika bergidik ngeri mendengar itu, "Berarti Kak Angkasa mainnya kasar, dong!". Gadis itu kemudian berdiri dan berlari keluar kamar sambil berteriak. "Kak Angkasa!!!"

Azura melotot, sementara Aila tak bisa menahan tawa.

Di ruang keluarga, dimana para Om sedang duduk bercengkrama bersama Angkasa dan Aizat, Aika datang dengan teriakannya. "Kak Angkasa pas buat Astra mainnya kasar, yah. Kak Azura sampai berdarah katanya."

Orang-orang yang ada disana mematung sesaat, mencerna perkataan gadis manis tersebut, sampai kemudian Om Aihan terkekeh lebih dulu, memahami kalimat Aika yang luar biasa. "Makanya, nanti kamu nikahnya kalau habis S2 aja, umur segitu pasti udah nggak berdarah kalo di unboxing."

"Mas, Ih." Om Aihan malah kena gampar tante Sarah.

Sementara Angkasa berusaha menutup wajahnya yang memerah, dan Aizat yang wajahnya berubah masam.

***

Satu part lagi menuju End, apakah Dia Bintang Azura kita buat happy end atau...

Jangan lupa votenya, dan yang pasti terima kasih banyak sudah menunggu cerita absurd ini, bye bye...

This is HurtTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang