29. Sakit Azura

146 15 2
                                    

***

Pukul dua belas malam lewat lima menit Angkasa terbangun dari tidurnya, mengalihkan pandang dari jam weker yang bertengger di nakas. Ia terduduk, mengusap wajahnya yang mengantuk, lalu turun dari kasur setelah menguap panjang. Ia berjalan menuruni anak tangga, menuju dapur, menuang air dalam gelas dan meminumnya dengan keadaan berdiri. Setelah itu, ia membuka kabinet di atasnya, mencari botol air yang biasa Azura siapkan di kamar. Setelah menemukannya, Angkasa segera mengisi botol itu dan kembali ke kamarnya.

Awalnya Angkasa biasa saja, menaruh botol di atas nakas tidak jauh dari jam weker tadi, lalu naik ke atas kasur dan hendak tidur kembali, namun melihat Azura yang berkeringat banyak membuatnya kembali menegakkan punggung.

Apa Azura mimpi buruk?

"Bintang..."

Panggilnya pelan. Ibu jarinya mengusap-ngusap sisi wajah Azura, sementara tangan yang lain menyeka butiran keringat yang sangat tidak masuk akal. Bantal yang di tiduri Azura juga hampir basah sepenuhnya.

"Hey", Panggilnya lagi. Kali ini agak keras, mengulangnya beberapa kali. Pikiran buruk mulai mendatangi, ada apa dengan Azura?

Karena Azura tidak bangun juga, ia segera berlari keluar kamar, menuju kamar Eyang, memberitahu jika Azura sedang tidak baik-baik saja.

Angkasa kembali ke kamarnya, menemukan Azura yang masih belum sadarkan diri, lalu tak berselang lama kemudian Eyang datang bersama Bi Yati.

"Belum bangun?" Tanya Eyang. Dan Angkasa mengangguk.

Eyang mendekat, memeriksa keadaan Azura. "Ini nggak papa, kok. Kamu nggak usah khawatir"

Mendengar perkataan Eyang yang santai sekali, Angkasa tahu ada yang sedang tidak ia ketahui. "Yati, tolong ambilkan minyak angin sama bawang merah"

"Baik Bu". Bi Yati berlari ke luar, namun sebelum mencapai pintu, suara Eyang terdengar lagi. "Sama Air hangat juga"

Setelah mengganti pakaian Azura, Eyang kemudian mengoleskan minyak angin di telapak kaki dan tangannya, memijatnya pelan. Angkasa ikut membantu, melakukan apa yang Eyang lakukan. Namun setelah tiga puluh menit berlalu, Azura tak bangun juga.

"Bintang..." Gumam Eyang, memanggil cucunya dengan sayang.

Eyang menampar pelan pipi wanita itu, namun tidak ada respon yang di dapat. Angkasa melihat raut wajah Eyang yang berubah kalut.

"Biasanya Azura pingsan cuma sebentar", Eyang akhirnya mengaku juga. Angkasa tak bisa berkata-kata.

"Kita bawa aja ke rumah sakit." Putus Angkasa, mengangkat lebih dulu Azura sebelum Eyang memprotes.

***

Kecurigaan Angkasa semakin menjadi karena Eyang langsung meminta untuk bertemu dengan dokter tulang, padahal hari sudah lewat tengah malam. Dan parahnya lagi, begitu memasuki IGD, perawat disana seakan akan sudah terbiasa menangani Azura. Tidak ada embel-embel administrasi, wanita itu langsung di bawa ke kamar inap setelah diberi penanganan oleh dokter jaga.

Angkasa menatap Azura yang masih berbaring di ranjang pasien, kali ini infus terpasang di punggung tangan kanannya, Angkasa juga sempat melihat wanita itu di beri suntikan di bagian punggungnya.

Jadi untuk memuaskan rasa penasarannya, ia berniat bertanya pada Eyang. Namun ketika mendapati Eyang sedang tertidur dalam keadaan duduk di sofa, ia menjadi tidak tega. Jadi ia berdiri, menghampiri Eyang, mengubah tidur wanita tua itu menjadi berbaring di sofa, dan menyelimutinya dengan jaket yang ia bawa.

Diantara masalah ini, katakanlah Angkasa melupakan Anara, karena ia benar benar sekalut itu.

Angkasa tidak tahu apa-apa tentang Azura. Sedikitpun ia tidak tahu, dan ia merasa buruk sekali sekarang.

Angkasa kembali berfikir, tentang perjanjiannya dengan Azura, tentang hubungannya dengan Anara, tentang janjinya pada Eyang. Kenapa semuanya tak berjalan sesuai rencana saja?

Ia tidak tahu apakah ia sudah jatuh cinta pada istrinya, tapi melihat Azura sakit dan ia tidak tahu apa-apa membuatnya sakit hati. Dadanya sesak, perih, seperti ada benda tajam yang mengirisnya pelan-pelan.

Ia tidak terlalu dekat dengan Azura setelah mereka berpisah saat Angkasa akan masuk SMP, mereka akan bertemu saat liburan, dan jarak mereka semakin kentara saat Angkasa duduk di akhir bangku SMP, ia ingat betul kejadian apa yang membuat hubungannya menjadi renggang. Ia tidak datang di lomba renang Azura, lomba terakhirnya, yang setelah lomba itu ia tidak pernah lagi berenang.

Angkasa ingin memperbaikinya, hubungannya dengan Azura, namun bayangan Anara tidak mudah ia hilangkan, kenangan bersamanya. dan rasanya Angkasa bisa memaafkan penghianatan itu jika saja Anara memberi penjelasan padanya.

"Angkasa..." Suara itu lirih sekali, menyentak Angkasa dari lamunnya, mendapati sorot mata Azura yang begitu lemah. Angkasa berdiri duduknya, menghampiri Azura yang kini tengah mengerjap pelan, mengumpulkan sisa-sisa kesadarannya.

"Ada yang sakit?" Tanyanya khawatir. Azura menggeleng pelan, lalu mendapati tangan Angkasa yang kini membelai puncak kepalanya. "Jangan sakit lagi, aku takut"

Wanita itu tersenyum lemah, memberi anggukan pada Angkasa, lalu meraih tangannya untuk kemudian di genggam dengan erat.

"Aku mau tidur lagi..."

Dan dengan terpaksa Angkasa mengiyakan, membiarkan mata lemah itu tertutup perlahan. Angkasa tak melepas genggaman tangan itu, tidak akan pernah.

***

Satu hal lagi yang menamparnya keras sekali, fakta bahwa Mas Abyasa telah mengetahui sakit Azura sementara ia tidak. Pukul dua siang setelah Angkasa memberi kabar di grup keluarga bahwa Azura jatuh sakit, Mas Abyasa sampai di Malang, di susul dengan Aizat dan Om Aihan yang datang menjelang sore.

Mas Aby menceritakan segalanya pada Angkasa setelah lelaki itu merasa frustasi dan terlihat sangat bodoh. Eyang tetap tutup mulut dan tidak berniat memberi tahunya walau Angkasa tahu betul Eyang tahu segalanya.

Sampai kemudian Mas Aby memintanya bicara berdua, di taman yang terletak di atas atap rumah sakit. Awalnya Angkasa menolak karena ia fikir Mas Aby akan membahasa masalah Anara, namun ketika kakak seupunya itu menyebut nama Azura, ia menjadi lunak. Dan disinilah mereka sekarang.

"Mas Aby tahu waktu libur kemarin. Mas sempat lihat dia keluar dari dokter tulang waktu Mas anter teman Mas yang lagi check up juga. Dan Azura tetap nggak mau ngasih tahu aku meski aku bertanya berkali-kali"

"Mas cari infonya sendiri lewat teman Mas yang kerja di bagian Administrasi"

Angkasa termenung, memikir alasan mengapa Azura tidak ingin memberitahu siapapun tentang sakit yang di deritanya.

"Aku sempat cari-cari tahu, kalo penyakitnya cukup serius tapi nggak sampai parah banget harus kehilangan nyawa, cuman operasi emang lebih baik, tapi Azura nggak mau"

"Mas nggak tahu. Azura mungkin merasa bahwa ia tidak memiliki siapa-siapa lagi selain Eyang. Makanya kita nggak tahu apa-apa"

"Azura pasti kesepian banget selama ini"

Angkasa menggeleng tak percaya. "Dia menderita sendirian dan kita nggak tahu apa-apa"

Mas Aby melihat emosi itu, bagaimana terlukanya Angkasa sekarang tentang ketidak tahuannya soal Azura.

"Lupain Anara."

Mendengar nama itu di sebut, Angkasa menegakkan wajah, memandang Masnya dengan tatapan benci. "Mas sengaja ngelakuin ini? Mas perkosa Anara?"

Lelaki itu menggeleng kencang sebagai jawaban. "Nggak sama sekali."

"Angkasa, Anara nggak salah apa-apa. Mas yang salah disini"

"Mas mabuk banget waktu itu, dan semuanya terjadi"

"Lepasin Anara, Angkasa. Aku janji akan buat dia bahagia." Kedua lelaki itu saling menatap, seolah olah berbicara dalam hati masing-masing.

"Lepasin Anara. Dan Jaga Azura"

***

This is HurtTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang