32. Sedih Seorang Bintang

135 18 2
                                    

***

Di kamar yang bercat putih serta aroma memuakkan dari obat-obatan tak membuat Angkasa beranjak dari duduknya. Sejak jam tiga subuh pria itu duduk di samping Anara, menemani perempuan itu, menggenggam tangannya agar Anara bisa tidur dengan tenang.

Perempuan itu keguguran. Janinnya yang berumur delapan minggu itu luruh dan harus di lakukan pengorekan.

Angkasa senang, tapi tidak ketika melihat wanita itu berbaring lemah di kasur pasien.

Ada Mas Aby juga yang menunggu, duduk di sofa sana sembari memperhatikannya. Subuh tadi, mendapati Angkasa berada disini padahal hari ini adalah hari wisuda Azura, membuat lelaki itu menghantam wajahnya satu kali. Angkasa tidak bisa membalas karena mereka sedang berada di rumah sakit, terlebih lagi Anara pada saat itu menyaksikan kehadirannya.

"Kapan kamu akan kembali?" Mas Aby bertanya. Angkasa melirik jam yang tergantung di dinding. Sudah pukul satu siang dan ia belum mengabari apa-apa pada Azura.

"Sore, Mas. Aku akan pulang sore. Aku cuma kesini buat jenguk Anara"

Angkasa bisa mendengar nafas berat di belakangnya. Mas Aby pasti sedang muak dengan sikapnya.

"Kamu udah hubungin Azura? Dia nelpon Mas berkali-kali tayain kamu"

Dan gelengan dari Angkasa membuat Mas Aby mengepalkan tangan. Ada apa dengan lelaki itu? Astaga...

"Mas keluar sebentar"

Dan Abyasa meninggalkan ruangan itu. Ia keluar ke taman, mengambil sebatang rokok di sakunya dan membakarnya dengan korek api yang di bawa. Tatapannya menajam karena panas matahari sangat menyilaukan mata. Abyasa menghembus asap rokoknya, lalu mengisap batang panjang yang diapit dua bibirnya.

Tidak ada lagi alasan untuk memaksa Anara bersamanya. Sejujurnya, Abyasa juga hanya melakukan ini sebatas tanggung jawab, walau ia sempat berfikir untuk menikahinya karena kasihan, serta berniat memisahkan Anara dan Angkasa agar Azura tetap waras, namun setelah kehilangan janinnya, Abyasa tidak tahu harus mengambil langkah seperti apa lagi.

Sebuah panggilan masuk menyadarkannya dari lamunan. Jadi ia merogoh kantung celana dan mengambil ponsel dari sana, mengangkat telepon ayahnya.

"Angkasa bersama Anara?" Cecarnya langsung. Abyasa terdiam. Sungguh, ia tidak ingin menghadapi kemarahan Ayahnya.

"Iya, yah." Jadi ia berkata jujur.

"Suruh ia kembali sore ini juga, atau ia tidak akan melihat Azura, lagi."

Sambungan telepon mati begitu saja. Jadi ia memutuskan menghabiskan sebatang rokoknya lalu kembali masuk ke ruang rawat Anara.

Angkasa disana, berdiri menunduk menenangkan Anara yang sepertinya shock setelah sadar. Wanita itu mungkin mengingat janinnya, atau ia merasakan sakit di bagian perutnya, atau ..., Yah, Abyasa tidak tahu.

Jadi dia mendekat, "Pulang sekarang, Angkasa." Katanya. Namun lelaki yang di maksud tak mengubrisnya. Ia masih menenangkan Anara dari tangisnya yang terdengar pilu.

"Pulang sekarang! Anara biar aku yang aku urus"

Abyasa menarik Angkasa agar menjauh, namun lelaki itu marah, ia melepaskan diri dari cengkraman Abyasa dan mundur dengan kemarahan di wajahnya. "Stop merintah aku, mas. Aku tau apa yang harus aku lakukan"

"Mas mendingan pergi deh. Aku muak liat wajah mas disini"

Abyasa menatapnya nanar. Menghela nafas sejenak lalu membuangnya kasar, ia menyugar rambutnya yang berantakan, menyerah. "Mas udah bilangin. Jangan sampai kamu menyesal nanti. Pulang sekarang atau-"

"Atau apa?" Tantang Angkasa. Dagunya dinaikkan.

"Atau kamu nggak akan pernah liat Azura lagi..."

"Selamanya." Lanjutnya sebelum berjalan keluar dan meninggalkan ruangan yang memuakkan itu.

Angkasa menarik rambutnya frustasi. Ia bingung, tapi ia tidak bisa meninggalkan Anara.

Azura bisa menunggunya, Angkasa tahu itu, wanita itu akan selalu menunggunya untuk pulang.

"Sa..." Lirih itu memanggilnya. Membuatnya harus menatap Anara yang sudah kembali menangis. "Maafin aku, Sa. Tapi, plis... Jangan tinggalin aku sekarang"

***

Ruangan itu penuh ketegangan sejak kembali dari acara wisudah. Tidak ada foto bersama, foto studio atau perayaan lainnya. Mereka langsung kembali ke rumah atas permintaan Eyang. Mengetahui bahwa Angkasa berbohong dan meninggalkan cucu kesayangannya di hari bahagia ini, membuat Eyang bersedih hati. Wanita tua itu tiba-tiba saja merasa tidak enak badan. Dan sampai di rumah bukannya istirahat, ia malah mendengar anak cucunya yang saling beradu argumen.

"Kamu harusnya bilangin anak kamu dong, Dan. Jangan kayak anak kecil ginilah. Di ajarin yang benner." Aihan menunjuk adiknya yang tengah duduk di seberang. Lelaki marah besar, selama ini Azura hidup di bawah cinta dan sayang Eyang serta seluruh keluarga, ia akui itu, tapi menyakiti wanita itu adalah hal yang sangat fatal baginya, siapapun itu.

"Udahlah, Mas. Jangan salah-salahan kayak begini, Angkasa dong yang di marahin, bukan malah marahin aku. Aku ngajarin yang benner sama anak-anakku Mas, jangan ngomong kayak gitu, lah." Aidan tak terima, tapi ia masih tetap waras, tidak ingin memancing kemarahan Masnya lebih banyak lagi.

"Ini tuh salah Eyang. Ngotot buat nikahin mereka, kan gini jadinya." Wanita di samping Aidan mengeluarkan pendapat, dan kini semua mata tertuju padanya.

"Apa kamu bilang? Anggi, jangan ngomong sembarangan kamu, yah!" Aihan menunjuk Istri Aidan.

Aidan pun menepuk paha istrinya. "Jangan ngomong kayak gitu, ini tuh salah anakmu. Salah kamu juga, masih biarin Anara dekat-dekat Angkasa" marahnya.

Anggi cemberut, tidak ada yang membelanya.

Dan Azura berdiri, meninggalkan perdebatan itu. Berjalan menuju kamarnya yang di susul oleh Aizat.

"Bintang, aku mau bicara." Pintanya.

"Sebentar, aku ketemu Eyang dulu."

Lalu keduanya berjalan bersisian, berbelok dan mendapati kamar Eyang yang tak di tutup.

Ada Eyang di atas kasurnya, yang sedang berbaring kelelahan. "Eyang..." Panggil Azura. Wanita itu terduduk disisi Eyang, menggoyangkan tubuhnya yang membelakangi.

Karena tidak ada respon, Azura membalik badan Eyang, namun tangan keriput itu jatuh tak bertenaga, menimpa pahanya. "Eyang..." Panggil Azura khawatir.

Berkali-kali, Azura memanggil Eyang dan mengguncangnya pelan, namun kediaman Eyang membuatnya khawatir. "Eyang..." Ia mulai meraung, sedih tak terkira, air matanya jatuh.

"Zat. Eyang nggak bangun, Zat."

Lalu pria itu mendekat, melakukan hal yang sama. Di antara waktu itu, Azura berlari keluar kamar, berteriak dari ujung tangga atas. "Ayah, Om. Eyang ... Hiks... Eyang ng-gakk... Bangun hiks..."

***

Puncak komedi yang tak ada habisnya. Seberapa banyak lagi sakit yang harus ia terima untuk menjemput kebahagiannya?

Azura menangis pilu di sana, membelakangi mayat Eyang yang kini telah tertutupi kain panjang. Semua orang bersedih, dan mungkin dialah yang paling sakit. Ia tidak punya siapa-siapa lagi, dan... Bagaimana ia harus melanjutkan hidup di tengah-tengah sedihnya yang mengaung. Ada luka disana, yang mengaga lebar minta di obati, namun siapa yang akan mengobatinya? Mungkin ia harus menutup luka itu, permanen. Sehingga tidak ada siapa-siapa lagi yang mencoba menyakiti perasaannya.

Tidak, tidak ada yang menyakitinya, dia sendiri yang merasa sakit, dia sendiri yang mencoba membuka diri, bergantung pada orang lain, dan inilah yang ia dapat.

Diantara sedih semua orang, ia berfikir, mengakhiri hidupnya adalah satu cara yang paling ampuh untuk membunuh rasa sakitnya.

***

Tinggal beberapa bab, cerita ini bakal ending, aku belum mutusin apakah harus happy atau sad, tapi aku berharap pembaca menerima dengan baik.
Oh ia, main-main ke short story aku yah, ada di sebelah lapak ini kok...
Oke, pay pay...

This is HurtTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang