21. Menjaga Jarak

130 18 3
                                    

***

Salahkan Azura, karena terlalu keras kepala. Sudah dua kali ia melewatkan pemeriksaan kesehatannya, selama rumah masih ramai, dan Angkasa ada disana, Azura tidak berani untuk pergi ke rumah sakit barang sebentar pun. Lelaki itu akan mengantarnya kemana-mana, bukan cuma Angkasa sebenarnya, Aizat juga melakukan hal yang sama.

Dan sakit itu datang lagi, ketika ia sedang duduk di depan tv dengan jurnal-jurnal yang berserakan di manapun. Ada di sofa yang dibelakanginya saat ini, ada di atas meja sekeliling laptopnya, ada di atas pahanya, dan dua lagi tergelak di lantai dan terbuka dengan sempurna, jangan lupakan beberapa tumpukan yang ada di ujung dekat kakinya.

Sakit itu menggigit, bercampur dengan rasa kesemutan yang tidak bisa ia tahan, tulang punggungnya mendadak kaku, dan bagian belakangnya nyeri sekali. Jangankan menggerakkan kaki, tangannya saja yang sedang berada di diatas meja, susah sekali ia gerakkan.

Kedua tangan itu mengepal, menekan meja berusaha berdiri, namun ia hanya bergetar bersama itu. Ia coba sekali lagi, namun kuatnya ia menekan meja, berusaha berdiri, meja yang terbuat dari kaca itu pecah begitu saja, seluruhnya. Menjatuhkan segala hal yang ada di atasnya.

Satu kakinya yang berada di bawah meja dihujani serpihan kaca, beberapa jurnal dan juga laptopnya yang bernasib sama.

Sayangnya, tidak ada siapa-siapa sekarang. Maksudnya penghuni rumah sudah tertidur, karena Azura memulai revisinya pada jam 11 malam, meninggalkan Angkasa yang tertidur begitu nyenyak nya.

Rasa sakit itu semakin menggigit, hingga air matanya jatuh begitu saja, mengalir deras.

Padahal ia belum hidup sendiri, tapi tidak ada yang di sampingnya saat ini, saat keadaannya memburuk seperti ini.

Obatnya juga ada di kamarnya yang dulu, yang kamar itu sudah tidak ia sentuh sejak dua minggu kejadian lalu, dan selama itu pula, ia tidak pernah meminum obatnya. Azura menutup mata, meringis, mendesis, sakitnya luar biasa.

Belum lagi dengan sepanjang kaki jenjangnya yang tertutupi setelan piyama yang berbahan satin, warna merah darah sangat kontras dengan piyamanya yang warna putih, ada beberapa titik disana, tidak terlalu banyak, tapi Azura meringis sakit.

Menyedihkan sekali, kesialannya seperti tak ada habisnya, karena selanjutnya lampu-lampu rumah yang tersisa padam begitu saja, entah mengapa.

Rasa takut menyergapnya, kejadian itu terbayang, hadir silih berganti, seperti rekaman rusak yang di putar paksa. Ia bergetar, dan menangis pilu.

"Bintang..." Suara itu menenangkannya, membuatnya lega. Mungkin Angkasa terbangun dan tidak menemukannya di sana bersamanya.

Melihat siluet yang tergesa-gesa itu turun dari tangga, menghampirinya yang terkena sinar dari laptop yang terletak miring karena sisi kanannya berada diatas betis wanita itu, dan sisi satunya menyentuh lantai.

"Angkasa..." panggilnya dengan suara pilu.

Lelaki itu menghampirinya dengan sebuah cahaya dari hp yang dipegangnya.

"Ya Allah, kok bisa begini"

Lelaki itu terkejut melihat kekacauan disana, kakinya sempat tersandung dengan tumpukan buku di dekat kaki gadis itu, lalu berjongkok dan meraih laptop, menaruhnya di sisi lain. Lalu menggendong Azura dan membawanya berbaring pada sofa di belakang.

Azura tanpa malu merengek ketika Angkasa mengangkatnya, membuat sakitnya semakin bertambah berkali-kali lipat, namun ketika ia mulai terbaring, ia merasa sedikit lega, seperti sakit itu mereda.

"Aku cari obat dulu"

Namun Azura menahan lengannya, menggeleng untuk memberi tahu agar Angkasa tidak meninggalkannya, Jadi lelaki itu kembali duduk di atas karpet berbulu, satu tangannya menggenggam dua tangan Azura, lalu tangan satunya menghapus sisa air mata di dua sisi pipinya.

This is HurtTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang