33. Telah Pergi

201 23 1
                                    

***

Angkasa merasa khawatir ketika handphonenya terus berdenting tanpa berhenti. membuat irama yang memekakkan telinga dan memuakkan. Lelaki itu baru saja tiba di bandara dan mengaktifkan hp nya yang sudah ia non aktifkan kurang lebih satu minggu ini. Ia  memeriksa log panggilan, ada banyak panggilan yang tidak terjawab dari semua anggota keluarganya, kecuali Azura.

Ia merasa aneh, mengapa Azura tidak menghubunginya di antara semua anggota keluarga yang berlomba-lomba menghubunginya. Ia tergugu setelahnya, menyadari sesuatu. Apa sesuatu yang buruk baru saja terjadi pada istrinya?

Ia mendial nomor Azura, namun panggilannya tak diangkat. Sekali, dua kali, ia kemudian memutuskan untuk segera mencari taksi agar bisa sampai di rumah secepat mungkin.

Rasa takut menyergapnya, pikiran buruk silih berganti singgah di bayangannya, memikirkan bahwa Azura sedang tidak baik-baik saja entah mengapa membuatnya merasa tercabik, sakit hati, dan ia tidak akan berhenti menyalahkan dirinya.

Setelah melewati perjalanan sekitar dua puluh menit dalam diam, Angkasa kini turun dari taksi tanpa membawa apa-apa. Ia melewati gerbang, masuk lebih dalam sampai ia menjejak teras dan berhadapan dengan pintu besar yang bercat kuning ke emasan.

Angkasa tiba-tiba gugup, jujur saja ia takut, setelah ini pasti ia akan mendapatkan banyak makian dari seluruh anggota keluarganya.

Ia mendorong pintu di iringi dengan salam yang keluar dari mulutnya. Hal pertama yang ia dapati adalah rumah yang begitu sunyi, seperti rumah yang telah di tinggal bertahun-tahun, tidak ada warna di dalamnya.

"Bintang..." Panggilnya pelan. Langkahnya terayun membawanya menaiki anak tangga, menggumam nama Azura sekali lagi, namun suaranya hanya berbalas gemaan. Ia mendorong pintu kamarnya, berharap menemukan Azura disana. Namun kamar itu tampak kosong tak berpenghuni.

Ia melangkah lagi, kali ini berbelok setelah melewati ruang santai, mendorong pintu kamar eyang dengan panggilan yang sama bergema. Tidak ada siapa-siapa disana, kemana semua orang?

Jadi ia kembali menuruni anak tangga, berjalan ke arah dapur, namun keadaan seperti sebelumnya, sepi, sunyi, tak berpenghuni.

Ia mengeluarkan ponsel sembari berjalan keluar rumah, berdiri di teras dengan ponsel di telinga. Angkasa menghubungi Aizat, tapi lelaki itu juga tidak mengangkat panggilannya.

"Aden, ngapain di sini?"

Suara itu menarik semua perhatiannya. Angkasa menoleh dan mendapati Bi Yati dengan satu kardus di tangannya. "Orang-orang pada kemana, yah, Bi?" Tanyanya.

"Loh, Aden yang selama ini kemana? Di cariin loh, sama Tuan."

Angkasa tersenyum canggung, ia merasa tidak perlu menjelaskan apa-apa pada Bi Yati, tapi...

"Aden udah tau, kan, kalo Bu Ainun baru aja meninggal?"

Angkasa terkejut, ia tergagap, tidak tahu harus merespon seperti apa. "Maksudnya?"

"Loh, Aden belum tahu juga? Bu Ainun meninggal seminggu yang lalu, pulang dari acara wisudahan Neng Zura, sorenya beliau sakit, tiba-tiba aja udah meninggal."

Angkasa masih belum mengerti, entah mengapa tiba-tiba saja ia menjadj tulalit. "Aden nggak tau, yah? Berarti Aden juga nggak tahu kalo Neng Zura udah nggak tinggal disini?"

Satu tamparan keras lagi, Angkasa merasa sulit bernafas, apa tadi katanya?

"Terus istri saya kemana, bi?" Tanyanya dengan gagap. Bi Yati memandangnya prihatin. "Udah balik ke jakarta, ikut sama Tuan Aihan, Den."

Dan seperti bom baru saja meledak di atas kepalanya, Angkasa merasa tubuhnya melemah, ia lunglai, membayangkan masalah apa yang akan ia hadapi selanjutnya.

This is HurtTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang