35. Pulang

160 21 2
                                    

***

Satu fakta yang Azura kini ketahui tentang Angkasa selama perpisahan mereka, bahwa suaminya sama terlukanya. Dari penuturan Ibu mertuanya, Azura dapat memahami bahwa sebenarnya Angkasa sudah mencintainya, hanya saja lelaki itu sedang denial dengan perasaannya. Lelaki itu tidak ingin kalah, ia merasa buruk karena di tinggalkan oleh wanita yang telah mengkhianatinya. Sudah di khianati, di tinggal pula tanpa penjelasan.

"Kayaknya ada tiga hari dia nggak keluar kamar, pas Ibu cek karena udah khawatir banget, ternyata anak itu sedang sakit"

"Dia nggak mau di bawa periksa, jadi dia cuma minum obat dari apotek, tapi nggak sembuh-sembuh"

"Ujung-ujungnya juga tetap di bawa paksa ke rumah sakit, rawat inap dua hari"

Ibu Anggi menggenggam tangannya, wajahnya terlihat sedih. "Ibu minta maaf karena selama ini nggak ngelarang Angkasa buat berhubungan kembali dengan Anara"

"Ibu kira mereka tetap berteman seperti pengakuan Angkasa pada Ibu"

"Ibu minta maaf, yah!"

Azura tersenyum, balik mengeratkan genggaman tangan mertuanya. "Ibu nggak salah, kok. Semua udah terjadi, dan yang terpenting sekarang kita udah baik-baik, aja."

Itu hanya kalimat hiburan, percayalah. Selama ini Angkasa juga menjanjikan dirinya, tapi terakhir kali lelaki itu menyakitinya. "Semoga Angkasa cepat sadar dengan perasaannya. Ibu beneran pengen liat kalian bahagia."

Walaupun harapannya selalu di patahkan, tapi Azura seolah-olah bodoh dan tetap percaya, bahwa setiap ada kesulitan pasti ada kemudahan. Setiap ada sedih, pasti ada kebahagiaan. Ia hanya perlu bersabar, membuat Angkasa mencintainya dan lelaki itu menjadi miliknya.

"Mas Aihan pasti nggak ngasih tau, kamu, kan?"

Azura mengangguk. "Ibu ngerti. Mas Aihan berlaku seperti itu agar Angkasa jera. Walau ibu juga bersedih karena Angkasa di perlakukan seperti itu."

Ibu mertuanya menunduk, meratap, mengingat masa-masa sulit Angkasa beberapa minggu kebelakang. Betapa laki-laki itu di landa stress dan sakit hati.

"Ibu nggak usah sedih, semoga ke depannya hubungan kami semakin membaik." Azura memeluk mertuanya.

Setelah drama panjang kemarin, ketika Azura meminta izin pada Om Aihan karena ingin kembali dan pulang pada Angkasa, lelaki tua yang telah menjadi walinya itu sangat menentang keras. Namun karena Azura yang memelas, dan tidak ingin berpisah lagi dengan suaminya, Om Aihan terpaksa mengizinkan, dengan syarat Angkasa tidak lagi membuatnya menangis, atau semuanya akan berakhir.

Angkasa menyanggupi, dan mereka mendapat izin untuk pulang dan kembali bersama.

Hari mulai beranjak, matahari mulai tenggelam, Azura berdiri dengan dua tangan yang menyangga di besi pembatas balkon, menatap atap-atap rumah yang berjejer rapi. Kebetulan kamar Angkasa berasa di lantai dua, jadi ia bisa melihat jalanan kompleks yang ramai akan anak muda sedang berlari santai, membakar lemak atau sekedar mencari udara segar. Beberapa juga anak kecil yang bermain di taman, tidak jauh dari rumah mertuanya.

Azura mengusap perutnya, kandungannya sudah menginjak bulan ke empat, sebentar lagi memasuki bulan ke enam. Perempuan itu menunda operasi sampai ia melahirkan, ia tidak ingin lalai dalam menjaga janinnya, jadi ia meminta pada semua orang, agar tidak memaksanya untuk melakukan operasi sementara ia mengandung.

Sebuah tangan melingkari perutnya, membuat Azura teralihkan. Ia menemukan aroma Angkasa yang seperti vanila, tapi sedikit manly, membuat Azura tersenyum. Ia sangat suka aroma itu.

"Apa yang kamu pikirkan?" Tanyanya. Ia meletakan dagunya di bahu Azura, menghirup dalam lekuk lehernya.

"Tidak ada. Hanya melihat orang-orang sedang sibuk dengan dunianya."

"Ohh?" Angkasa berseru, lelaki itu tersenyum saat tangannya merasakan pergerakan dari permukaan perut Azura yang tertutupi blus.

"Dia bergerak?" Tanyanya. Azura bergumam. "Sejak dua minggu yang lalu. Kamu senang?"

"Yah, sebentar lagi dia akan lahir." Itu bukan pertanyaan, jadi Azura tertawa mendengarnya. "Masih ada empat bulan lagi." Koreksinya.

Keduanya kemudian terdiam, menikmati hening, sama-sama merasakan gerakan janin yang kini sepertinya sedang aktif, seolah-olah janin itu mengetahui bahwa Ayah dan Ibunya sedang bersamanya.

"Kamu ingin beri nama apa?" Angkasa bertanya tanpa melepas atensinya dari gerak janin. Pria itu mengusap perut istrinya, seperti mengajak sang janin untuk bermain dengannya.

"Belum tahu, bukannya terlalu cepat?"

"Tidak juga..." Angkasa mencium pipi istrinya, membuat perempuan itu salah tingkah dengan wajah yang memerah.

***

Walaupun pendek begini, saya tetap berharap dukungan kalian semua. Oo iyya, mau ending yang bagaimana nih? Aku jabanin wkwkwk, soalnya lagi beberapa part cerita ini bakal end.

Oke, see you guys... Myyourssssss

This is HurtTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang