36. Bahagia Azura

163 19 3
                                    

Jangan lupa tandain typo ❤️

Dan jangan lupa, tekan bintang ✴️

***

Hari-hari berlalu dengan kebahagiaan, tentu Azura sangat bersyukur, ia memiliki keluarga yang sangat sayang padanya, namun walaupun begitu, Azura terkadang bersedih jika bayang-bayang kenangan indah bersama eyang menghampirinya. Sesekali wanita itu akan menangis, meratapi betapa dia ingin selalu bersama eyang, wanita yang telah merawatnya sampai sebesar ini, dan lagi-lagi keluarganya selalu menghiburnya, tidak ada satupun yang membuatnya bersedih.

Beberapa kali ia juga menghampiri kedai milik Aizat yang dekat dengan kampus lelaki itu, duduk berdiam diri di salah satu kursi yang menghadap jalan raya yang ramai, ia menghabiskan banyak waktu disana, mempelajari beberapa resep, atau sekedar menggantikan kasir. Ia menghilangkan kebosanan, ketika Angkasa pergi bekerja, perempuan itu menunggu dengan hati yang bahagia. Mungkin.

Lonceng yang berada di atas pintu kedai baru saja berdenting, Azura mengangkat kepalanya dan menemukan Aizat yang baru datang dengan tas ransel di punggungnya. "Hai, kamu pasti bosan tungguin aku,"

"Kamu baik-baik, aja kan?"

Azura tersenyum, perempuan itu keluar dari bilik kasir dan menghampiri Aizat, keduanya berjalan menaiki tangga, namun karena perut Azura yang semakin membesar membuat Aizat harus menahan langkahnya agar lebih lambat, menunggu Azura, menuntunnya menaiki tangga.

"Harusnya kamu istirahat, aja."

Azura bergumam bosan. Setiap hari ia mendengar kalimat itu. Tidak, ia mengerti dengan maksud Aizat yang tidak ingin membuatnya kelelahan atau terjadi sesuatu padanya, tapi berdiam diri di rumah tidak membantu apa-apa. Azura akan bosan, karena semua orang pergi ke tempat kerja.

"Pelan-pelan!" Peringat Aizat saat Azura hampir saja terpeleset.

"Aku mengantuk, boleh istirahat di tempatmu sebentar?" Azura mentap Aizat. Kini mereka berjalan ke arah kanan, dimana sebuah pintu dengan cat putih menunggu.

"Kamu tidur aja, tunggu sampai Angkasa datang,"

Aizat mendudukkan Azura di kasurnya. "Kamu hubungi aku kalau perlu apa-apa."

"Makasih banyak."

Aizat tersenyum, lelaki itu membantu Azura untuk merebahkan diri, "You'r welcome."

Lalu setelahnya Aizat menghilang dari balik pintu setelah lelaki itu berjalan keluar. Masih ada yang harus ia urus di kitchen. Pasti melelahkan sekali, pulang kuliah harus kembali bekerja.

Azura tak lagi memaksa kehendak, matanya mulai berat dan ia terbawa suasana. Ia mengantuk sekali, jadi ia tertidur dengan posisi menyamping. Perutnya sudah besar, jadi ketika tidur terlentang ia merasa sesak.

Sekitar dua jam kemudian Angkasa datang, membuka pintu dengan wajah tang tak kalah lelahnya. Lebgan baju yang di gulung sampai setengah siku, dasi yang sudah longgar dan kemeja yang sudah tidak lagi rapi dalam masukan celana.

Pria itu tersenyum saat mendapati Azura terlelap, ia tidak ingin mengganggu, jadi ia membiarkan Azura tidur lebih lama dan dia memandanginya.

Ketika Azura bergerak tidur terlentang, Angkasa dengan hati-hati merubah posisinya menjadi menyamping kembali.

Sekitar tiga puluh menit, Angkasa hanya memandanginya tanpa bersuara, ia tidak berniat mengganggu Azura, jadi hanya duduk di sisi perempuan itu dan menatapnya dalam, mengusap kepalanya, bergumam pelan, menghela nafas, lalu tersenyum. Ada banyak sekali perasaan yang di rasanya.

Perempuan itu bergerak, di ikuti dengan mata yang perlahan terbuka dan tatapan keduanya bertemu.

Azura tersenyum, bergumam tidak jelas, merenggangkan otot-ototnya lalu mengusap wajah setelah menarik nafas dalam lalu membuangnya. "Hai..."

"Hai... Gimana? Udah siap pulang?"

Azura menganggug lemah, lalu keduanya terdiam. Hanya terdengar helaan nafas Azura yang memberat.
"Kenapa?" Tanya Angkasa, lelaki itu menyentuh tangan istrinya.

"Kamu merasa sesak?" Lelaki itu tampak khawatir.

Azura menggeleng, "Hanya sedikit, mungkin karena perutku sudah besar sekali."

"Kita periksa ke dokter, yah. Aku nggak mau kamu kenapa-napa." Azura tersenyum. "Nggak perlu, tapi nggak apa-apa deh, sekalian cek up juga."

Angkasa membantu Azura bersiap-siap. "Kamu udah makan malam?"

Perempuan itu menggeleng. "Kita makan di bawah? Aku pesenin apa?"

Namun Azura merubah raut wajahnya. "Aku bosan makan di sini, kita makan di tempat lain, boleh?"

Angkasa tersenyum dan lelaki itu mencubit gemas pipi istrinya yang mengembung. Puppy eyesnya sangat menghibur. "Boleh banget, Yuk!"

***

Paginya, sekitar jam sepuluh, keduanya bersiap menuju ke rumah sakit yang di maksud, dimana sebelumnya rumah sakit tersebut menjadi tempat lanjutan berobat Azura. Setiap dua minggu perempuan itu datang di antar langsung oleh Angkasa, konsultasi dengan kehamilan anak pertama mereka juga memastikan tidak terjadi sesuatu yang di inginkan mengenai penyakit Azura.

Keduanya masih harus menunggu di kursi tunggu, menunggu nama mereka di panggil karena hari ini bukan mereka saja yang melakukan cek up.

Azura bersandar pada bahu suaminya, tangannya memainkan tangan Angkasa, menggenggamnya sesekali, lalu menepuk-nepukannya di paha lelaki itu. Sangat bosan sekali.

"Kamu lapar?"

Azura menggeleng. Keduanya kembali terdiam. Angkasa fokus pada perawat yang memanggil nama, takut ia tak mendengar ketika namanya di sebut.

"Awhhh"

Angkasa berpaling, menemukan Azura yang kini memegang perutnya dengan wajah meringis. "Kenapa, sayang?"

Lelaki itu mengusap perut buncit Azura, merasakan gerakan disana, awalnya ada gerakan agresif, lalu perlahan-lahan berubah menjadi gerakan sesekali.

"Baby kita pasti sudah nggak sabar."

Azura tersenyum mendengar penuturan suaminya.

Ketika nama Azura di panggil, keduanya bergegas memasuki bilik pemeriksaan. Namun Angkasa hanya menemani sampai Azura duduk di kursi karena selanjutnya seorang perawat memanggilnya untuk menebus obat.

Kini hanya dokter yang memeriksa bersama dengan Azura, perempuan itu duduk persis di depan sang dokter.

Melihat ekspresi dokter yang tidak bersahabat, Azura bisa menebak kabar selanjutnya.

"Saya rasa keluarga Ibu harus tahu."

Azura diam mendengarkan. "Kehamilan ini mulai berbahaya, ibu juga sedang berhenti konsumsi vitamin dan obatnya, ini hanya akan memperparah keadaan,"

Azura seperti melamun, hal-hal baik tidak akan pernah menghampirinya.

"Mereka harus tahu. Kita harus mengambil tindakan segera mungkin."

Azura menatap dokter dengan pandangan memohonnya. Wanita itu menggeleng pelan, "Belum saatnya dokter. Biarkan saya melahirkan anak saya, saya yakin saya akan baik-baik saja,"

Sang dokter menggeleng pasrah, menghela nafas berat. "Ibu harus segera mendapat penanganan. Gejala-gejala yang ibu alami sudah menandakan bahwa penyakit ibu sudah dalam tahap berbahaya. Bisa menghilangkan nyawa."

Azura tersenyum, sekaligus bersedih. Matanya berkaca-kaca. "Saya hanya ingin anak saya lahir dokter..."

***

Aduh, ada apa lagi ini? Hayo-hayo... Saya datang setelah sekian purnama, eh sekalinya datang bawa berita buruk... Wkwkwk, maafin yakkkk

Yang belum vote, plis tekan bintangnya... Itu aja permintaan saya. Tengkyuuuuh myyourssss, sampai jumpa...

This is HurtTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang