20.|| Janji telponan

50 40 5
                                    

HAPPY READING♡

__________

“Jangan marah dong Win, ngambekan ih.. jangan gitu lah.”

Aku hanya diam tetap berjalan masuk ke lapangan sekolah untuk berjalan menuju ke kelasku. Kelasku dan Yulia maksudnya.

Aku sangat kesal sekali dengan Yulia sejak pagi tadi. Anak ini sangat ember.

Aku masih ingat saat Ayah menatapku dengan wajah dingin. Yah, walaupun memang wajah ayah selalu dingin. Tetapi dingin yang satu ini berbeda, wajahnya seperti menunjukkan jika ayah tidak suka dengan informasi yang di jadikan Yulia sebagai lelucon pagi tadi.

Beberapa kali memang ayah pernah memergoki ku pulang bersama kak Aldy.

Awalnya memang aku merasa jika ayah sedikit terganggu. Namun setelah dia mulai mengenal Kak Aldy dan mengajak mengobrol dengannya beberapa kali, ayah sudah terlihat biasa.

Tapi aku kembali merasakan jika ayah tidak suka dengan hal itu. Apa ayah tidak suka jika aku dekat dengan kak Aldy?

“Jangan diem mulu deh Win? Gue minta maaf deh."

Aku berhenti berjalan pada saat mataku tak sengaja berpapasan dengan mata gelap yang di kelilingi bulu mata lentik yang juga sedang menatapku. Dia menatapku datar seperti tatapan yang sering dia berikan kepadaku akhir-akhir ini.

Jujur saja aku merasa seperti terintimidasi saat dia menatapku seperti itu.

Cie.. cie.. Calon imam berdiri di depan sana, Aaa.. liat liatan lagi. Ekhem, cie-cie..

Maaf yang tadi Yulia ucapkan kepadaku maksudnya apa?

Baru saja setengah menit yang lalu dia mengucapkan kata maaf padaku. Tapi saat ini dia sudah kembali mengolok-olokku dengan membisikkan kata-kata menjijikkan seperti itu.

“KAK ALDYY WINDYA RINDU… KANGEN KATpppbbbrrffttp…”

Sumpah! Jika Yulia bukan temanku, aku tidak akan segan-segan untuk menjahit mulutnya saat ini juga. Benar benar tidak bisa di ajak kompromi.

“Windyaa.. Apaan sihh...”

“Diem. Nyebelin banget sih lo, makin bikin gue tambah marah aja tau nggak sih?"

Bukannya tersinggung dengan perkataanku, Yulia malahan sibuk senyam-senyum cengengesan sendiri melihat ke arah depan. Namun senyumannya semakin lama semakin terlihat malu-malu.

Ada yang tidak beres dengan anak ini.

Aku yang semula sibuk memperhatikan Yulia, kini mulai melihat ke arah yang Yulia lihat saat ini.

Pantas saja tingkah Yulia semakin terlihat aneh. Ternyata di depan jalan kami ada kak Rafael yang saat ini sudah berjalan ke arah kami sambil merangkul kak Aldy. Aku menelan ludah grogi.

Kata-kata yang subuh tadi sempat ku baca kini berputar putar bak kaset di pikiranku.

Tidak. Rasanya aku benar benar ingin tenggelam saat ini juga.

Langkahku yang tadinya terasa pelan kini perlahan mulai terhenti setelah dua orang di depan kami berhenti tepat berhadapan. 

Rasanya sangat dekat sekali. Aku bahkan sampai tidak bisa melihat wajah kak Aldy yang saat ini berdiri di depanku. Aku menunduk tidak berniat ingin mendongak sedikitpun.

“Udah sarapan?”

“Udah.”

“Pantesan..”

“Apa?”

Chubby banget pipinya.”

Aaa.. kak Rafael, sakit.”

“Yuk, temenin gue sarapan. Eh suapin gue makan maksudnya.”

“Hmm...  Nggak mau.”

“Harus mau.. Ayo.”

Kami berdua hanya diam melihat percakapan singkat dua sejoli yang lagi kasmaran itu. Sebelum mereka melambai dan bergegas pergi dari hadapan kami.

Tadi aku sempat mendongak sekilas namun kembali menunduk pada saat tak sengaja mata hitam yang juga sedang menatapku itu menatap tajam. Bahkan sampai saat ini, aku masih merasa dia sedang melihatiku dengan tatapan itu.

Kak Aldy berdehem pelan. Aku memejamkan mataku pada saat mendengar suara deheman kak Aldy. Sepertinya dia ingin memulai percakapan.

“Lo nggak mau masuk kelas?” Mataku yang tadinya terpejam, mendadak langsung terbuka, bahkan melotot, ternyata aku salah duga.

“Iya, mau.” Cicitku pelan. Namun tanpa merubah posisiku yang saat ini masih berada di hadapannya.

“Terus? Ngapain masih disini?”

Aku gelagapan. Tindakanku sekarang memang seolah-olah sedang tidak mau beranjak kemana mana karena menghadang langkah kak Aldy.

Tanpa berniat menjawab pertanyaannya aku segera melangkah kesamping, mencari jalan untuk pergi. Namun baru saja satu langkah aku ingin berjalan, tanganku sudah di tarik dan itu membuatku kembali berdiri di hadapannya.

“Gue bercanda.” ucapnya datar lantas memegang kedua bahuku. Mau tidak mau kepalaku yang sejak tadi menunduk akhirnya terangkat juga. “Lo nggak mau ngucapin apaan gitu untuk gue?”

“Ngucapin apa?’’ aku mengerutkan keningku bingung. ucapan apa? Ucapan maaf atau malah ucapan selamat karena cowok itu sudah selesai melaksanakan ujian sekolah nya. Aku berdecih pelan sambil mengulum senyum. “kakak aja belum tentu lulus.” Tuding ku ngasal.

Dia tertawa. Manis sekali yang rasanya semakin membuatku merasakan hal yang aneh.

Aku masih diam melihat tingkahnya yang kini sudah berdiri tegak sambil memasukkan kedua tangannya di dalam saku celana abu abunya. Aku baru sadar bahwa seragam kak Aldy yang biasanya rapi kini sudah berbeda dengan biasanya.

Baju seragamnya sudah berada di luar celana padahal hari masih pagi.

Yuk gue anterin ke kelas.”

Aku hanya tersenyum dan mengangguk saja, kemudian berjalan beriringan dengannya.

“Semalaman, gue chat, telepon, sms, video call. Lo kemana aja?”

Aku melirik ke arah kak Aldy yang sedang menatap ke arahku. “Sorry, gue nggak ada buka hp semalaman."

“Padahal kemarin janjinya mau telponan sama gue.” Kak Aldy mengerucutkan bibirnya.

“Kan kakak yang ngajak, bukan salah gue dong.”

“Kan lo juga udah mau kemarin, nggak salah gue juga dong?”

“Iya sih... tapi kan udah minta maaf.” kataku akhirnya. Rasanya aku tak suka melihat wajah kak Aldy yang mengajakku berdebat seperti ini. “Lain kali kan bisa..”

Kak Aldy terkekeh pelan sambil gencar mengacak-acak rambutku sampai berantakan kedepan. "Janji. Nanti malam ya."

_________

To be continue.

Salam
@windyaaw_

Memori [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang