Prolog

3.6K 118 7
                                    

"Ibu harus pindah kamar ke kelas 1. Yang kelas 3 ada yang kena TBC, jadi kata dokter kalau mau dipisah harus naik kelas." Ucap Shireen di hadapan Ardhan.

Shireen masih berdiri di dekat Ardhan yang sedang duduk di meja makan menikmati makanannya. Jangankan dipersilakan makan, bahkan untuk duduk saja tidak diperbolehkan.

Beberapa kali Shireen menelan liurnya melihat menu makanan yang tengah dilahap kakak tirinya itu.

"Kemana BPJSnya? Kan bisa gunain itu..." jawab Ardhan sambil memotong daging rendang sebelum ia kunyah pelan.

"Kata dokter, kalo mau cepet pulih, sementara pakai obat yang bukan generic. Shireen gak ada uang simpanan, Bang." Jujur Shireen lagi.

Tentu saja ia tak ada simpanan. Dia hanya tamatan SMA, dahulu saat ingin kuliah ayah tirinya tak setuju. Shireen paham bahwa ia hanya anak tiri. Berbeda dengan Ardhan yang menimba ilmu hingga keluar negeri. Shireen pun tak paham, ayah tirinya yang luar biasa berada itu bahkan tak mau repot-repot mengeluarkan uang pendidikan untuknya.

Jadilah ia setamat SMA bekerja sebagai kasir di minimarket. Masalahnya usianya semakin bertambah. Penampilan dibutuhkan. Bekerja sebagai kasir tidak dapat dijadikan sebuah karir. Ia melompat dari satu minimarket ke swalayan yang masih bertahan memperkerjakan dirinya yang kini berusia 26 tahun.

"Maaf bang, ini sudah setengah tahun ayah meninggal. Apakah abang tega melihat ibu dan Zein seperti ini? Zein sebentar lagi tamat SMA bang. Sudah kami alihkan ke sekolah negeri yang biayanya lebih murah. Tapi dua tahun lagi dia tamat bang."

"Lalu apa hubungan ayah yang sudah setahun meninggal dengan ibu dan adikmu itu?" Tanya Ardhan yang rupanya menyentong kembali nasi ke dalam piringnya.

"Gaji Shireen gak cukup membiayai pengobatan ibu dan juga sekolah Zein. Maksud Shireen, apakah kami diizinkan kembali bang tinggal di rumah ini? Setidaknya bisa mengurangi biaya sewa rumah bulanan..." pinta Shireen. Entah kenapa perutnya berbunyi sekarang. Astagah, ia memang benar-benar lapar.

"Wasiat ayah cukup jelas. Mengusir kalian dan memberikan semua warisan padaku. Kalian juga lihat kan? Salahkan saja ibumu yang mau-maunya jadi istri kedua! Sampai mati pun ternyata ayahku nggak bisa melupakan mendiang ibu kandungku kan?!" Tantang Ardhan lagi.

Shireen kembali menelan salivanya. Itu benar. Dahulu sang ibu yang merupakan janda anak satu memilih menikah kembali saat sang suami meninggal. Keadaan ekonomi yang sulit tak meninggalkan apapun saat ayah kandung Shireen meninggal.

Shireen pikir mempunyai ayah lagi dan seorang abang yang lebih tua tiga tahun darinya merupakan anugerah. Hingga ia sadar, ia hanya sebatas anak bawaan. Bahkan ibunya tak lebih dari pelayan yang selalu melayani sang ayah tiri. Bahkan ketika Zein lahir. Shireen pikir kelahiran Zein mengubah prilaku ayahnya. Tapi rupanya tidak.

Beliau saat itu tak siap ketika memiliki anak lagi. Ujung-ujungnya Zein nyaris diperlakukan sama dengannya. Bedanya, Zein masih bersekolah di sekolah swasta internasional untuk menunjang pendidikan. Tapi meninggalnya ayah, bertepatan dengan kelulusannya dari SMP membuat Shireen mengalihkannya ke sekolah negri. Bukan karena apa, saat keadaan masih berduka, mereka bertiga disuruh keluar dati rumah itu.

Shireen dan ibunya paham bila mereka terusir. Yang membuat tak paham ketika Zein ikut terusir dari rumah itu. Paling tidak Shireen bersyukur sang adik bukanlah tipe orang yang biasa berkehidupan mewah. Tinggal disebuah kontrakan dengan satu kamar saja ia tak mengeluh. Ia mulai mengeluh saat pembayaran spp bulanan keluar. Dan sekarang sudah empat bulan ia menunggak, adiknya takkan bisa ikut ujian bila spp belum dibayar.

"Kalau Shireen pinjam uang untuk biaya rumah sakit ibu dan spp Zein bisa bang?" Shireen berdoa dalam hati agar melunak perasaan kakak tirinya itu.

Ardhan menghentikan makannya dan menatap Shireen.

SHIREEN & GUNTURTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang