.
.
.
.
.
.Aku Muhammad Zein Zulfikar.
Aku adalah anak bungsu dari keluarga Zulfikar. Aku memiliki dua orang kakak. Muhammad Ardhan Zulfikar dan Shireen Amanda.
Kalian pasti bertanya, kenapa kakak perempuanku tidak menyandang nama Zulfikar?
Aku saat itu baru mengetahui bahwa Ayahku seorang duda anak satu dan Ibuku janda anak satu, yang kemudian menikah. Lalu aku adalah anak yang berasal dari rahim Ibuku dan menyandang nama Zulfikar. Maka, berbeda dengan kakak perempuanku yang disebut anak bawaan Ibu. Ia terlahir tanpa nama keluarga besar ini.
Keluarga Zulfikar.
Sebuah nama keluarga yang tadinya kuyakini hanyalah sebuah nama yang menyertai nama belakangku. Tapi nyatanya tidak. Darahku dan Bang Ardhan masih sama. Di pembuluh darah kami mengalir darah yang serupa.
Apakah aku merasa bangga menjadi bagian dari kelurga ini? Mungkin dulu iya...
Tapi tidak lagi...
Kala aku mengetahui bahwa mungkin aku hanyalah anak yang tidak sepenuhnya diharapkan, terutama oleh kakak lelakiku, Bang Ardhan.
.
.
.
.
."Jangan meminta sesuatu yang bukan hakmu di rumah ini."
Itu suara Ayah yang menggelegar. Aku yang sedang mewarnai gambar di buku gambar pun langsung berlari ke arah suara Ayah. Kubuka pintu pelan. Disana sudah ada Ayah, Ibu, Mbak Shireen dan Bang Ardhan.
Aku bisa melihat wajah Mbak Shireen seperti menahan tangis. Memangnya Mbak Shireen minta apa?
"Mandiri sedikitlah! Kamu bisa cari kerja, kan?!"
Suara Ayah menggelegar lagi.
Pintu kamar pun langsung kubuka. Aku berdiri di ambang pintu sambil memperhatikan semuanya.
"Maaf, Mas... Kalau semisal Shireen kuliahnya D3 saja bagaimana? Biayanya ti-"
"Berani kamu memerintahku?"
Wajah Ayah mengerikan.
Ayah memang mengerikan saat marah. Memang Ayah marah kenapa? Tapi kenapa cuma bang Ardhan yang senyum?
"Nggak, Mas..."
"Maaf, Ayah... Shireen nggak bermaksud meminta hal yang sulit. Kalau biaya kuliahnya memang mahal, Shireen ak-"
"'Mahal'? Mahal katamu? Kau menghinaku seolah aku tidak bisa membiayai kuliahmu yang setara dengan makan siangku? Aku hanya mengingatkan posisimu di rumah ini. Kau bukan darah dagingku. Jadi ja-"
"Mas! Nggak perlu kamu berkata sekasar itu! Kalau memang tidak boleh kuliah, Shireen juga paham. Nggak usah kamu ungkit-ungkit posisi Shireen di rumah ini."
"Kamu lupa? Sudah kukatakan bahwa yang kunikahi dan kunafkahi itu kamu. Bukan anak bawaanmu itu!"
Mataku berkedip. Sesaat setelah Ayah mengatakan hal itu, kulihat Ibu berlari meninggalkan ruang keluarga itu sambil menangis.
"Maaf Ayah. Shireen nggak akan kuliah. Shireen akan coba mencari pekerjaan. Shireen permisi, Ayah."
Setelah Ibu, sekarang Mbak Shireen yang sudah pergi dari ruang keluarga. Dengan mengendap-endap, aku menutup pintu kamarku. Aku berjinjit kala melangkahkan kaki. Aku tidak boleh terlihat kalau mau ke kamar Mbak Shireen.
"Sudah semestinya, Ayah. Kalau Ayah tidak tegas, anak itu bisa besar kepala. Ayah harus bersikap tegas kalau kita tidak mau ia mencoba menguasai semuanya."
Itu suara Bang Ardhan.
Untung saja Bang Ardhan ajak Ayah bicara. Kalau tidak, aku pasti ketahuan keluar kamar.
KAMU SEDANG MEMBACA
SHIREEN & GUNTUR
ChickLitKetika ayah tiri Shireen meninggal, tak sepeserpun warisan diturunkan pada ibunya. Bagi Shireen dan ibunya tak jadi soal. Tapi Shireen tak menyangka hal tersebut juga dialami adik tirinya Muhammad Zein Zulfikar yang merupakan anak kandung dari sang...