.
.
.
.
.3 Tahun lalu
Selayaknya acara pernikahan yang terkesan amat sederhana dan terlihat terpaksa diadakan, maka kedatangan Shireen di kediaman Guntur pun demikian.
Dirinya hanya ditinggalkan di ruang tengah demgan sebuah koper tua, ransel dan tas lainnya. Sedangkan sang suami sudah menaiki undagan tangga meninggalkannya.
Shireen hanya menghela nafas. Dirinya memandang jam yang kini sudah memasuki pukul sebelas malam. Tapi Guntur tak jua turun untuk sekedar mengecek dirinya apakah masih di luar atau di dalam rumah.
Mengingat hubungan mereka yang tak ubahnya bagai saling bermusuhan, Shireen tak mau memgambil resiko untuk memasuki dua ruangan yang ada di lantai dasar. Dirinya sekarang memanglah sudah menjadi istri sah dari Guntur. Tapi ia mengerti batasan. Ia tak serta merta dengan lancangnya memasuki ruangan yang belum ditentukan Guntur untuk ia tempati.
Melihat sikap Guntur saja Shireen amat yakin bahwa sang suami takkan mungkin mau satu kamar dengannya. Itu artinya, dirinya hanya akan diberi pilihan dua ruangan di lantai dasar.
Kini dirinya sudah mengganti kebaya sewaannya dengan pakaian rumahan. Akses kamar mandi di area dapur adalah pilihan yang tepat untuk ia membersihkan diri.
Sekarang Shireen hanya menatap beberapa masakan yang dibawakan mertuanya itu. Tak banyak. Hanya seporsi rendang, sop iga, rolade ayam, juga suwir ikan tuna pedas. Shireen sebenarnya masih berharap suaminya akan turun dan berbincang dengannya. Setidaknya itu sedikit mengurangi rasa tidak enaknya pada Guntur.
Tepat saat Shireen sejenak berhenti memikirkan Guntur, dirinya dikejutkan dengan kehadiran pria itu di ujung anak tangga. Tak ada lagi kemeja dan jas yang dipakainya kala mengucapkan ijab dan acara sederhana di rumah mertuanya. Kini pria matang itu memakai celana rumahan panjang dan kaos berwarna abu muda.
Mata Shireen berbinar melihat pemandangan yang dahulu sering ia jumpai kala Guntur menginap di rumah Ardhan. Tapi saat itu ia tak memiliki perasaan apa pun pada Guntur. Dan kali ini sungguh berbeda. Aroma entah sampo atau sabun yang menguar membuat Shireen melebarkan matanya. Jantungnya berdebar. Ia gigit kuat bibir bawahnya. Ia sebisa mungkin mengendalikan jika saja pipinya berubah pink.
"Kita harus bicara." Ujar Guntur dingin.
Sebelum Guntur menduduki kursi meja makan di depan Shireen, ia melihat beberapa lauk yang ada di meja.
"Kenapa nggak dihangatkan?" Guntur bertanya.
"Hah?" Shireen terbengong.
Baru saja Guntur seolah menyuruhnya untuk mnghangatkan makanan yang ada di meja makan.
"Iya. Dihangatkan. Itu semua bisa basi nanti. Kamu tahu menggunakan kompor, kan?" Guntur bertanya lagi.
Shireen hanya mengangguk kaku. Dengan Tangan yang luar biasa gemetar, ia angkat beberapa mangkuk itu ke arah meja dapur. Shireen menyalakan kompor dengan perasaan yang luar biasa berdebar. Ia bahkan tak bisa membedakan mana yang lebih panas. Kompor, kah? Atau pipinya?
"Aku nggak akan melarangmu untuk menggunakan peralatan di rumah ini. Kamu bebas menggunakannya." Ujar Guntur kala Shireen sedang menghangatkan makanan.
KAMU SEDANG MEMBACA
SHIREEN & GUNTUR
ChickLitKetika ayah tiri Shireen meninggal, tak sepeserpun warisan diturunkan pada ibunya. Bagi Shireen dan ibunya tak jadi soal. Tapi Shireen tak menyangka hal tersebut juga dialami adik tirinya Muhammad Zein Zulfikar yang merupakan anak kandung dari sang...