6

991 56 3
                                    

3 Tahun lalu...
.
.
.
.
.
Shireen masih memikirkan segala kemungkinan yang hadir di kepalanya. Berbagai versi dirinya menerima ataupun menolak tawaran Ardhan.

"Mbak, kenapa? Mikirin besok  pindahan ya?" Tanya Zein yang menjejeri Shireen yang tengah mencuci piring usai takziah malam itu selesai.

"Hah? Ooh... Nggak, kok..." kilah Shireen yang membilas piring terakhir.

Keadaan Bik Inah yang asam uratnya kumat membuat Shireen menyuruh wanita paruh baya itu untuk istirahat lebih dulu. Kini tersisa Shireen dan Zein membereskan semua hal. Piring kotor, juga perabotan ruang tamu dan ruang tengah yang sebelumnya dipasangi karpet.

"Mbak... Kira-kira Ibu sudah mendingan belum ya? Kan besok kita sudah pindahan..."

Shireen langsung menaruh piying terakhir yang ia cuci lalu beralih mengambil sebuah piring berisi kue sisa.

"Nih, kamu antar ke kamar Ibu. Buruan, nanti kalau ketahuan Bang Ardhan dimarahin..." bujuk Shireen.

Zein yang amat memikirkan kondisi sang Ibu segera membawa piring dan meninggalkan dapur. Kini tersisa hanya Shireen yang berada di dapur. Sendirian dan memandangi jam. Rupanya sudah pukul sepuluh malam.

Shireen menuju ruang tamu dan mengintip ke kaca. Masih bisa ia lihat mobil Guntur disana. Keinginannya untuk mematikan lampu ruang tamu dan ruang tengah ia urungkan. Baginya tak sopan mematikan lampu jika masih ada tamu di rumah sang kakak.

Dirinya yang hendak kembali ke dapur dikagetkan dengan hadirnya sosok Guntur disana. Shireen melihat Guntur yang dari belakang itu tengah membuka lemari kabinet mencari sesuatu.

"Ada yang bisa dibantu, Mas?" Shireen mendekati pria itu.

"Aku cari teh hijau yang biasa diminum Ardhan. Katanya di lemari kabinet." Ujar Guntur.

Shireen yang paham apa yang dicari Guntur belarih ke kabinet lain di area bawah. Disana sudah tersedia beberapa merek teh, dua jenis kopi dan gula.

"Teh terakhir tadi sudah dibuat untuk Bang Ardhan. Ini saya buka yang baru." Jels Shireen mengambil sebuah kotak teh berwarna hijau itu.

Guntur pun beralih meminta teh itu.

"Mau dibuatkan, Mas?" Tawar Shireen. Sungguh. Ia ragu Guntur bisa membuat teh atau tidak.

"Tidak usah. Aku bisa, kok." Jawab Guntur.

Shireen pun akhirnya memilih keluar dari dapur. Dirinya langsung duduk di salah satu sofa di ruang keluarga sambil menunggu Guntur keluar dari dapur, ataupun kalau-kalau pria itu butuh bantuannya. Jika ia satu ruangan dengan Guntur, ia akan merasa tak enak sendiri.

Selagi menunggu aktifitas Guntur di dapur, pikiran Shireen kembali melayang. Ada satu hal yang diinginkannya seandainya memang ia berjodoh dengan seorang suami yang mapan seperti Guntur, ia ingin merasakan bangku kuliah walaupun usianya sekarang nyaris kepala tiga.

Padahal pendidikan itu sangat penting. Shireen menyesal sekali ia dulu tak memohon pada sang Ayah untuk mengambil minimal D3. Dirinya yang hanya tamatan SMA sangat sulit mendapatkan pekerjaan bergaji besar. Mau membuka usaha di masa depan, tapi tabungan emasnya akan ia jual besok untuk membayar kontrakan dan hidup sehari-hari. Belum lagi membayar uang masuk SMA Zein.

Shireen paham dirinya sudah mau kepala tiga. Menjadi kasir swalayan bukanlah sebuah profesi. Semua orang dapat menjalankan pekerjaan itu. Alhasil, Shireen amat khawatir jika swalayan akan memerkerjakan orang yang lebih muda.

"Apa nikah saja ya..." bisik Shireen pada dirinya sendiri.

Sejenak Shireen menginginkan pernikahan. Tapi ia cukup tahu diri jika menikah dan membawa sang Ibu juga Zein ke dalam pernikahannya. Ia tak mau membebankan permasalahan hidupnya pada orang yang akan menikah dengannya kelak.

SHIREEN & GUNTURTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang