Shireen terdiam. Bukan Ardhan yang ada di hadapannya. Melainkan sosok sang mantan suami yang berwajah gusar dan menatapnya nyalang.
"Mas Guntur..."
.
.
.2 jam yang lalu...
"Kita berdua mengenal sosok Aleena yang ramah, lembut, ceria dan juga hangat. Kita sudah terbiasa melihat kesehariannya yang selalu dibalut dengan sifatnya yang kita sebut dengan 'kalem', Tur... Sampai akhirnya gue tahu... semua itu memang palsu..."
Guntur menatap Ardhan. Ia paham perkataan pria di sampingnya itu.
"Jadi gue cuma cinta sepihak ya..." Guntur berkata lirih sambil menatap makam Aleena yang masih basah tersebut.
Ada rasa nyeri yang sulit ia ungkapkan. Mungkin lebih didominasi oleh rasa kecewa. Tapi Guntur kembali berfikir. Buat apa lagi ia merasa demikian?
Penyesalan memang selalu berada di akhir bukan?
"Dia pasti tersiksa banget di samping gue..." tambah Guntur lagi, penuh sesal.
Ardhan yang mendengarnya tak langsung menjawab. Ia malah meraih sekuntum mawar putih yang belum tersobek kelopaknya.
"Gue terlalu terlena. Merasa aman karena mendapatkan pasangan seperti Aleena. Sama-sama berasal dari keluarga berada, bersikap anggun dan mengerti situasi. Semua itu membuat gue jadi merasa mendapatkan pendamping yang tepat." Imbuh Guntur lagi.
"Ternyata gue salah. Gue sadar. Selama Aleena bersama gue, gue selalu mengekang dia. Melarang dia mengenal dunia yang nggak perlu dia kenal. Membatasi pergaulannya dan membuat dia hanya butuh gue. Nyatanya gue salah."
Kelopak yang tadi dipegang Ardhan perlahan ia buka satu persatu hingga berjatuhan. Agak lama ia kembali menunggu Guntur mengatakan uneg-unegnya kala bersama mendiang istrinya.
Apakah Ardhan merasa cemburu?
Tidak...
Rasa itu tak bisa ia capai lagi.
Jasad yang ingin ia cemburui itu sudah tergeletak jauh di dalam tanah merah itu. Bukan perasaan itu. Justru perasaan lembutlah yang lebih kentara. Baginya, saat ini bukan lagi saling bertengkar dan menjatuhkan. Ia hanya ingin saling terbuka kala membahas wanita yang mereka cintai bersamaan itu.
"Sebagian benar... tapi sebagian lagi salah..."
Mata Ardhan dan Guntur bertemu. Ada senyum terukir di wajah Ardhan. Senyum yang mengisyaratkan bahwa ia siap membagi segalanya dengan sahabat lamanya itu.
"Kita bertiga hanya terjebak dalam kondisi dan situasi yang tidak tepat. Lo dengan hidup lo yang lo atur untuk selalu sempurna, Aleena dengan hidupnya yang tak ingin sempurna dan gue yang menyangkal bahwa semua nggak selalu harus sempurna..."
Semilir angin bertiup menerbangkan beberapa kelopak mawar merah yang bertebaran.
"Dia pernah mencintai lo, kok. Sampai akhirnya mencapai titik dimana ia merasa bosan dengan hidup yang dia jalani. Bertemu dengan orang-orang yang berada di lingkaran hidup dia yang itu-itu saja. Dan menurutnya lo ada di lingkaran orang-orang yang dia sebutkan. Orang-orang yang menurutnya hanya membuka jalan satu arah bagi dia. Tanpa memperkenalkan dunia lain yang belum tersentuh sama dia. Aslinya dia keras kepala. Nggak suka diatur. Kalau kata Aleena, dia iri banget sama almarhumah Arlisa, sepupunya."
Guntur sontak menengok ke arah Ardhan yang sedang menatap makam isterinya itu.
"Arlisa? Yang ditabrak beberapa tahun lalu?" Guntur memastikan.
Ardhan pun ikut menengok ke arah Guntur dan memasang senyum mengembang yang begitu sering ia perlihatkan dahulu sebelum mereka terlibat konflik.
"Iya. Katanya, Arlisa dulu bisa bebas pilih SMA dan nggak perlu kerja di perusahaan Papanya. Padahal mereka sama-sama anak tunggal. Tapi beda dengan Aleena. Kedua orang tuanya kan benar-benar mengekang dia. Lo tahu sendirilah..." kenang Ardhan.
KAMU SEDANG MEMBACA
SHIREEN & GUNTUR
ChickLitKetika ayah tiri Shireen meninggal, tak sepeserpun warisan diturunkan pada ibunya. Bagi Shireen dan ibunya tak jadi soal. Tapi Shireen tak menyangka hal tersebut juga dialami adik tirinya Muhammad Zein Zulfikar yang merupakan anak kandung dari sang...