1

1.4K 105 53
                                    

3 tahun kemudian.

Shireen sudah berkutat di dapur Sejak pagi untuk menyiapkan sarapannya, ia sudah menyiapkan kotak bekal untuk dirinya dan memasukkan nasi goreng buatannya beserta telur mata sapi. Ia beberapa kali menengok ke arah jam di ponselnya. Masih banyak waktu. Rencananya sangat padat hari ini. Ia akan menjemput ibunya sore nanti di rumah sakit. Ia yakin sang ibu kali ini sudah bisa keluar dari ruang perawatan.

"Mau dibawakan bekal mas?" Tanya Shireen saat menyadari sang suami sudah turun dari lantai dua dan duduk di meja makan.

"Nggak." Jawab Guntur singkat. Ia hanya menengok ke arah tab yang ia pegang dan menyesap kopinya perlahan.

"Nasi goreng mas." Shireen menaruh piring berisi nasi goreng di depan suaminya. Guntur masih sibuk dengan tabnya dan tak memerdulikan sarapan yang sudah disediakan sang istri.

"Mas, hari ini ibu terakhir dirawat di rumah sakit." Shireen menarik kursi di depan suaminya

"So?"

Shireen memilin jemarinya dan menelan salivanya susah payah. Beberapa kali ia menengok pada suaminya itu.

"Terus kenapa?" Tanya Guntur tak sabar. Ia tak lagi menatap tabnya.

"Aku izin bawa ibu ke rumah ini bisa mas?" Tanya Shireen perlahan.

Awalnya Guntur hanya terdiam beberapa saat. Lalu ia kembali menatap tabnya.

"Aku nggak suka ada orang asing di rumahku." Ucap Guntur.

"Orang asing? Ini ibuku, mas. Mertua mas..." Kilah Shireen.

"Kamu paham kan hubungan kita gimana? Kalau bukan karena Ardhan, aku nggak akan menikahimu. Cukup dengan kehadiran kamu d rumah ini. Jangan ditambah lagi dengan kedatangan ibumu." Jawab Guntur lagi.

"Uang sewa rumahnya belum kubayar mas. Kemarin Bang Ardhan cuma bayarin biaya rumah sakit ibu. Simpananku habis bayar semester Zein kemarin." Jelas Shiren.

Guntur kembali menatap Shireen. Kali ini ia menaruh tabnya di meja.

"Jangan buat jadi rumit. Tiga tahun ini kita aman-aman saja. Kamu dengan duniamu, aku dengan duniaku. Aku nggak pernah menjanjikan menafkahi kamu, membiayai ibumu dan menguliahkan Zein. Jadi letak salahku dimana?" Tanya Guntur pelan.

Shireen menghela nafas. Ia hanya ingin setidaknya sekali saja suaminya ini peka terhadapnya.

"Kalau aku minta uang ke bang Ardhan lagi, dia bisa-bisa marah mas. Makanya sementara ibu disni dulu gitu mas, sebentar lagi aku gajian, nanti langsung kubayar rumah sewaan ibu. Aku cuma nggak mau ibu dikehar-kejar penagih sewa." Shireen menjelaskan dengan penuh hati-hati.

Suaminya memang tak pernah marah. Justru sangat dingin padanya. Sejak awal menikah memang benar mereka hidup bersama, tapi tak pernah sekalipun mereka tidur di kamar yang sama. Shireen paham dengan perasaan suaminya. Terlebih saat Aleena -kekasihnya- menikah dengan Ardhan.

Guntur tak lagi menatap Shireen. Dirinya masih terpaku pada tab yang sekarang ia pegang.

"Aku banyak kerjaan, butuh konsentrasi. Tanggung jawabku berat untuk laporan perkembangan perusahaan kepada keluarga Bratadikara. Kalau bukan karena mereka, aku nggak bakal berada di posisi CEO dan mengelola sumber kekayaan keluarga itu. Harusnya kamu paham!" Guntur mulai naik pitam.

Shireen paham sekali sesibuk apa seorang Guntur. Ditunjuk sebagai CEO untuk mengurus kerajaan bisnis keluarga Bratadikara membuat ia memiliki segala. Tapi ia tak paham, dimana letak hubungan korelasi antara suaminya yang CEO dan ibunya yang hanya ingin menginap tanpa mengganggu aktifitas suaminya itu.

SHIREEN & GUNTURTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang