15

1.7K 106 76
                                    

.
.
.
.
.

Shireen terdiam di sebuah warung sate yang untungnya masih buka. Tidak hanya dipinjami ponsel, ia pun diberikan segelas air mineral kemasan dingin yang langsung dihabiskannya dalam tiga kali teguk.

Keputusannya dulu sangat benar menghapal nomor ponsel Ibunya, Zein dan Tiwi. Tapi kali ini, nomor Tiwi lah yang ia hubungi. Shireen melihat lagi ke arah jam di dinding warung sate yang masih buka itu. Pukul sebelas malam. Sesekali ia melihat ke arah wanita paruh baya yang tengah menjaga warung sate.

"Maaf ya, Bu. Rumah kawan saya agak jauh. Sebentar lagi pasti datang." Ujar Shireen yang mulai tak enak kala hampir satu jam ia duduk di kursi plastik merah yang disediakan pemilik warung sate.

Wanita paruh baya itu tersenyum. Lalu berangsur berdiri dan berjalan ke arah lemari pendingin. Kali ini ia mengeluarkan sebotol teh kemasan diangsurkannya ke tangan Shireen.

"Minum lagi. Kamu agak pucat." Ujar sang pemilik warung.

"Nggak usah repot, Bu..." Shireen menolak halus pemberian si pemilik warung. Tapi tak digubris. Jemarinya menepuk jemari Shireen yang menggenggam minuman botol itu.

"Jangan sungkan. Saya nggak tahu kamu kenapa, tapi saya tahu kamu lagi kesusahan. Saya juga perhatikan kok kalau kakimu juga sakit kan?" Tebak sang Ibu paruh baya tersebut.

"Nggak apa, Bu... cuma luka kecil..." kilah Shireen lagi. Dirinya yang agak kaku memilih membuka tutup botol minuman teh kemasan pemberian pemilik warung sate tersebut.

"Ohya, kita belum kenalan lho. Nama saya Lasmi. Panggil saja Bude Lasmi. Nama kamu siapa, nduk?" Tanyanya ramah.

"Nama saya Shireen, Bu. Shireen Amanda." Jawab Shireen tanpa ragu.

"Kamu ada masalah, nduk? Kenapa kamu tengah malam ada di jalanan? Kamu nyasar? Atau habis ditipu?"

"Nggak Bude. Saya nggak kenapa-kenapa. Cuma ada kesalahan yang belum bisa saya perbaiki saja Bude. Ohya, Bude biasa tutup jam berapa? Apa karena kehadiran saya, Bude belum menutup warung sate ini?" Shireen bertanya penasaran.

Pasalnya beberapa warung di dekat mereka sudah tutup. Hanya tersisa warung sate milik Bude Lasmi. Padahal satenya satu tusuk pun tak terlihat lagi. Bara api pun tak menyala lagi. Terlebih tak ada seorang pun anak buah bude Lasmi yang masih ada di tempat.

"Nggak apa... Bude mau pulang lebih awal pun tak ada orang di rumah." Jelasnya lagi.

"Bude tinggal sendirian?" Tanya Shireen yang kini merasa iba dengan wanita paruh baya itu.

"Anak bude sudah meninggal duluan. Tapi sebulan sekali anak angkat bude datang membawa suami dan anaknya." Kini wajah Bude Lasmi berubah sumringah.

"Alhamdulillah ya, Bude..."

Kembali suasana menjadi sunyi. Tak lama terdemgar suara kendaraan bermotor. Benar saja. Kendaraan beroda dua itu berhenti tepat di depan warung sate Bude Lasmi. Shireen semakin tersenyum kala menyadari sosok yang kini sedang membuka helmnya itu.

"Wi..." Shireen melambai pelan pada Tiwi sahabatnya itu.

Tiwi yang sudah melihat sosok Shireen yang temgah duduk di bangku plastik itu langsung ia hampiri. Tanpa bertanya lagi, ia sudah bisa menebak raut wajah meringis Shireen yamg dipaksakan tersenyum.

"Wi, maaf aku menghubungi ka-"

Ucapan Shireen terhenti kala Tiwi sudah berhambur memeluknya erat. Shireen bisa merasakan usapan lembut di punggungnya. Tanpa bisa menahan lagi, Shireen jatuhkan semua air mata yang tak bisa ditahannya lagi. Shireen pegang erat jaket belakang tiwi dengan erat sambil terisak.

SHIREEN & GUNTURTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang