.
.
.
.Zein Adik Kesayangan
"Assalamualaikum. Mbak, aku numpang menginap semalam di rumah kalian ya, besok Zein ada acara ke seminar bisnis di Hotel Rodison."Shireen terdiam melihat sebuah pesan masuk pagi ini di ponselnya. Sudah lewat dari dua menit. Tapi tak juga ia balas pesan adiknya. Dirinya kini sedang tak fokus.
Baru saja semalam ia kehilangan keperawanan dengan cara paling tak manusiawi. Setelahnya Guntur sudah memberinya waktu hingga hari rabu untuk berkemas. Lalu gugatan cerai akan dilayangkan pria itu.
Shireen sudah bingung. Kepalanya berdenyut sakit. Kini sudah pukul delapan pagi. Di hari minggu, ia paham jadwal khusus Guntur. Sejak subuh suaminya pasti sudah jogging hingga pukul delapan. Shireen menduga, sebentar lagi pasti suaminya tiba.
Hari minggu biasa Shireen isi dengan membuat sarapan terlebih dahulu, lalu menyuci baju, menyetrika, menyiapkan makan siang. Guntur pun biasanya hanya memakan sarapan lalu menonton berita. Selebihnya pria itu akan masuk ke ruang kerja setelah makan siang hingga menuju makan malam.
Selalu berulang terus menerus selama tiga tahun ini. Tapi Shireen tak berani sama sekali menampakkan diri di depan Guntur hari ini. Semua perasaannya campur aduk. Sakit, sedih, takut dan juga malu.
Sakit.
Tidak ada wanita di dunia ini yang menginginkan mahkotanya direnggut paksa tak manusiawi seperti dirinya semalam. Shireen bahkan masih berjengit nyeri kala berjalan ke kamar kecil.
Sedih.
Tak tahu lagi seberapa banyak air matanya sudag tumpah sejak Guntur mengucap kata cerai. Matanya sudah bengkak bagai bola golf sekarang. Entah apa yang ia tangisi. Perceraian itu? Atau tahu bahwa takkan ada kesempatan lagi memperbaiki hubungan dengan sang suami?
Takut.
Shireen tak pernah melihat pria itu marah. Selama ini Guntur hanya mengomel. Tak pernah menunjukkan kemarahan berarti. Tapi semalam, ia bisa menangkap emosi mendalam yang sudah dipendam pria itu. Maka tak salah jika wajahnya sudah disiram air teko.
Malu.
Ya...
Bohong kalau Shireen tak malu. Ia tidak tahu mau ditaruh dimana wajahnya kini. Ia bak penipu ulung yang menginginkan pertamggungjawaban Guntur sampai ia sadar, tak ada sedikit pun kehilangan yang membuat Guntur mengganti kebahagiaannya.
CEKLEK!
Shireen terkejut. Ia menangkap suara dari arah pintu depan. Ia sudah menduga kalau sang suami sudah pulanf dari joggingnya. Shireen melihat siluet dari celah bawah pintu. Mulai dari cahaya putih hingga sekelebat bayangan hitam nampak muncul timbul seiring bunyi suara langkah.
DAK!! DAK!!
"BANGUN!! MASAK KEK! BUAT TEH KEK!"
Suara Guntur membuat Shireen terkesiap dari duduknya. Baru saja Guntur menggedor pintunya kuat. Shireen pikir Guntur takkan meminta sarapan pagi itu mengingat kejadian yang mereka alami semalam. Ia cukup menyesal tak menyiapkan sedari pria itu menghilang dari rumah.
"Iya, Mas." Jawab Shireen dengan suara nyaris bergetar.
Shireen segera berdiri dan mengenyampingkan rasa nyeri di selangkangannya. Ia langsung beralih ke kamar mandi.
"Astaga..."
Shireen sudah menyerah kala melihat matanya amat merah dan sembab. Ia coba mencuci wajahnya seolah berharap bengkak di matanya berkurang.
Shireen mrmbuka pintu kamar. Jantungnya sudah berdegub kencang mencari sosok Guntur. Tapi tak ia temukan. Berjalan ke ruang makan, sayup-sayup Shireen mendengar suara shower dari lantai atas. Setelah mengumpulkan tenaga, Shireen membuka kulkas. Ia tak ada ide akan memasak apa pagi ini. Tapi dengan cekatan Shireen mengambil seplastik pokcoy, jamur kancing, slice beef, telur dan tahu china.
KAMU SEDANG MEMBACA
SHIREEN & GUNTUR
ChickLitKetika ayah tiri Shireen meninggal, tak sepeserpun warisan diturunkan pada ibunya. Bagi Shireen dan ibunya tak jadi soal. Tapi Shireen tak menyangka hal tersebut juga dialami adik tirinya Muhammad Zein Zulfikar yang merupakan anak kandung dari sang...