.
.
.
.
.
.Shireen berdiri terpaku di depan pagar tinggi itu bersama Zein. Sebenarnya ia ragu. Ada rasa tak enak dan rasa bersalah. Tapi ia tahu bahwa semua harus ia jelaskan dengan baik agar orang-orang yang telah ia sakiti memaafkannya. Siapa lagi kalau bukan orang tua Guntur?
Sudah hampir setengah jam Shireen dan Zein menunggu di balik pagar yang tertutup. Menurut satpam, kedua orang tua Guntur sedang beristirahat siang sambil meminum teh.
Yang menjadi masalah, saat ini Ibu mereka sedang dititipkan oleh keluarga pasien di ranjang sebelah sang Ibu di Rumah Sakit. Dihitung dengan waktu perjalanan, mereka sudah menghabiskan waktu satu jam lebih.
"Apa kita balik besok lagi saja, Zein? Sudah satu jam kita ninggalin Ibu." Keluh Shireen yang masih memikirkan sang Ibu.
"Nanggung, Mbak. Kita sudah sampai sini. Ibu juga sudah minum obat dan makan siang, sekarang pasti lagi tidur. Kita tunggu dulu sebentar. Masalah kalau ditunda-tunda makin runyam nanti." Jawab Zein yang memainkan tali helm di tangannya.
"Tapi Mbak takut, Zein. Kemarin malam saja mereka marah banget. Mbak cuma takut mereka nggak mau ketemu kita. Kamu dengar nggak apa kata satpam tadi? Mereka lagi istirahat siang minum teh. Itu artinya mereka lagi santai. Kalau nggak ada masalah, Mama sama Papa bisa langsung kita temui." Shireen masih mencoba menjelaskan lagi sambil memperbaiki duduknya. Ia yang pegal berjongkok akhirnya menyerah dengan duduk di atas pembatas jalan.
"Kita tunggu saja. Setengah jam lagi nggak masuk juga, baru deh kita pergi." Zein kini menatap wajah kakaknya yang terlihat kusut tersebut.
"Mbak kenapa? Takut? Atau gimana?" Zein kembali lagi bertanya kala melihat wajah sang kakak tak nampak tenang.
"Bohong kalau Mbak nggak takut. Mbak takut mereka meledak-ledak. Takut Papa marah, juga takut Mama nangis lagi." Shireen menjawab sambil memainkan jemarinya.
Zein yang mendengar hal tersebut sontak menghela nafas. Ia garuk perlahan belakang kepalanya yang tidak gatal.
"Mau nggak mau kita harus konfirmasi, Mbak. Kita nggak mungkin bawa Bang Ardhan. Sekarang, Zein satu-satunya lelaki di rumah. Walaupun Mbak lebih tua dari Zein, Mbak tetap tanggung jawab Zein."
Shireen terenyuh. Ia tak menyangka sang adik bisa berfikir sejauh dan sebijak itu.
"Walau sekarang di mata Mbak, Zein masih belum dewasa, tapi Zein akan berusaha mempertahankan martabat keluarga kita, Mbak. Ini bukan lagi tentang Bang Ardhan yang menjebak Mbak, tapi lebih kepada keluarga Mas Guntur memperlakukan mbak dan keluarga kita. Paling nggak, mereka tahu cerita yang sebenarnya. Jadi mereka nggak salah paham lagi."
"Tapi apa kata Mas Guntur nantinya Zein? Mbak bisa kena marah sama dia..." lirih Shireen lagi.
Baru saja Zein akan menjawab pernyataan Shireen, sebuah panggilan terdengar. Seorang satpam menggerakkan tangan memanggil mereka berdua. Dengan cepat Shireen dan Zein berdiri dan menepuk celana bagian bokong mereka berdua.
Shireen kini merasakan hal yang ia rasakan ketika pertama kali memasuki kediaman rumah keluarga Guntur tersebut. Rasa takut, pun rasa tak nyaman. Kini perasaan itu hadir lagi. Terlebih, orang tua Guntur tak lagi menerima kehadiran keduanya di ruang tamu yang penuh kehangatan.
Shireen dan Zein justru duduk diam di bangku besi teras rumah. Jemarinya sedari tadi bertaut. Hal itu ia lakukan dengan harapan mengurangi kegugupannya. Ia tak tahu apa yang akan ia atau Zein ucapakan nanti bila bertemu kedua orang tua Guntur tersebut. Beberapa kosa kata yang sempat mampir di kepalanya itu perlahan sirna.
"Ada perlu apa?"
Benar saja.
Sebuah pertanyaan ketus terlontar kala Papa dan Mama Guntur berdiri di ambang pintu. Shireen dan Zein berdiri bersamaan. Tak ada sambutan tangan kala Shireen dan Zein menyorongkan tangan mereka. Dengan kikuk, Zein juga Shireen menarik lagi jemari mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
SHIREEN & GUNTUR
ChickLitKetika ayah tiri Shireen meninggal, tak sepeserpun warisan diturunkan pada ibunya. Bagi Shireen dan ibunya tak jadi soal. Tapi Shireen tak menyangka hal tersebut juga dialami adik tirinya Muhammad Zein Zulfikar yang merupakan anak kandung dari sang...