2

1.1K 75 20
                                    

3 Tahun yang lalu...

.
.
.
Air mata Shireen masih memgalir deras. Dilihatnya sang Ibu dan juga Zein yang juga menangis. Zeinlah yang meraung kuat atas kepergian Ayah. Dialihlan lagi pandangan Shireen. Matanya tertuju pada Muhammad Ardhan Zulfikar kakak tirinya. Dibalut oleh kemeja dan celana hitam, ia pun menghiasi wajahnya dengan kacamata hitam. Tapi tak ayal, Shireen masih bisa menangkap air mata itu jatuh di pipi Ardhan.

Bukannya Ardhan, Zeinlah yang memgumandangkan adzan di pusara makam sang Ayah. Mereka mendengar khidmat adzan yang dilantunkan si bungsu Zulfikar itu. Ketika adzan telah usai, perpisahan untuk selamanya pun akhirnya dimulai.

Tanah demi tanah diangsurkan untuk menutup liang kubur itu. Tanah merah yang masih basah menurut Shireen. Ketika nisan dan bunga sudah bertaburan, doa-doa ditinggikan kepada Sang Khaliq agar almarhum Ayah mereka tenang di sisi Maha Rabb.

Tapi memang benar. Ketenangan itu bukan hanya keinginan si hidup bagi si almarhum, juga keinginan sang almarhum bagi sang hidup.

•••••○•••••

Shireen terdiam mendengarkan pembacaan surat wasiat yang dibacakan pengacara Almarhum sang Ayah tiri. Rupanya saat ia dan ibunya justru sibuk untuk acara takziah malam pertama, keluarga mereka sudah kedatangan sang pengacara.

Shireen baru tahu kalau beginilah keluarga berada. Acara tangis menangis dari sanak keluarga akan berakhir ketika seorang berbpakaian rapi dengan jas hitam dan membawa tas koper dengan warna yang sama membuat suasana menjadi lain.

Lima menit lalu Shireen masih memikirkan apakah jumlah nasi kotak yang dipesan Ardhan cukup untuk para tamu yang datang takziah malam itu. Rupanya kali ini pikirannya buntu.

"Sekarang? Maksudnya malam ini?"

Itu bukan suara Shireen. Itu suara sang Ibu.

"Semua tergantung dengan Tuan Ardhan. Saya hanya menyampaikan." Ujar sang pengacara yang memasukkan berkas-berkas penting itu ke dalam tas koper hitamnya.

"Apakah bisa ditunda hingga takziah hari ke tujuh? Kami bahkan belum menemukan hunian selepas pergi dari sini... Lalu Zein bagaimana? Gimana sekolahnya?"

Sang Ibu sudah meracau. Shireen perlahan memegang jemari sang ibu.

"Tenang, Bu..." lirih Shireen.

"Semua jelas dengan surat wasiat Ayah.  Kalian tak mendapatkan sepeserpun, aku yang mewarisi perusahaan dan semua aset yang Ayah miliki." Ucap Ardhan dengan dingin.

"Tapi bagaimana dengan Zein, bang?" Shireen akhirnya memberanikan diri bertanya.

"Bagaimana apanya? Ya kalian bawa saja. Tak ada sedikitpun kalimat Ayah yang menyuruhku mengurus Zein."

Shireen terdiam. Ini kejam. Shireen berfikir, jika Ardhan begitu kepadanya maka wajar. Tapi akan lain ketika membicarakan Zein. Mereka satu Ayah, walau lain ibu.

"Bang, bagaimana kalau Zein disini sampai ia menamatkan SMAnya saja?" Tawar Shireen.

Ardhan tertawa terbahak-bahak. Ia menganggap perkataan Shireen adalah lelucon semata. Lantas ia tatap kedua mata Shireen itu.

"Ngigo kamu! Sudah jelas kalau kalian harus angkat kaki dari sini. Jadi tidak ada tawar menawar!" Ardhan berkata tegas.

Shireen bertatapan dengan sang ibu.

"Tapi bagaimana dengan sekolah Zein, Bang? Dengan sekolahnya yang sekarang, kami berdua nggak mampu untuk membiayainya." Ujar Shireen lagi.

Shireen tentu saja bingung. Dia hanya kasir di swalayan. Biaya sekolah Zein sebulan di SMP IT Atmaja itu empat kali lipat gaji Shireen. Maka mana mungkin ia akan sanggup membiayai sekolah Zein bila mereka memang benar-benar Terusir dari rumah itu.

SHIREEN & GUNTURTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang