.
.
.
.
.
3 Tahun lalu..."Si Guntur kasih uang buat acara berapa, Reen? Buat gambaranku juga nanti kalo mau nikah sama Masku." Tanya Tiwi sambil menyisir rambutnya di depan cermin.
Shireen yang mendengar pertanyaan Tiwi pun terdiam. Gerakannya yang sedang memasukkan name tag ke loker pun terhenti.
"Memangnya harus ngasih ya?" Shireen balik bertanya.
Tiwi yang menyisir sambil melihat bayangan Shireen di cermin pun sontak berbalik pada sahabatnya itu.
"Hah? Ngelantur ya kamu, Reen?" Tiwi mengernyitkan dahinya. Ia takut sahabatnya itu terkena gangguan otak ulah kedapatan melihat calon suaminya berciuman dengan wanita lain beberapa waktu yang lalu.
"Tapi Mas Guntur nggak bilang apa-apa soal uang."
"Terus lamarannya kapan?" Tiwi kini tak lagi bercermin dan mendekati sahabatnya itu.
Shireen hanya terpaku menatap sahabatnya itu. Tak ada percakapan apa pun dari Guntur. Seingatnya, ia dan keluarganya sudah didaulat untuk hadir di KUA yang ditunjuk oleh pria itu. Tak ada perintah apa pun lagi selain itu.
"Kayaknya gabung sama akad deh, Wi..." Shireen berkata tak yakin.
"Kamu minta mas kawin apa?" Tiwi kembali bertanya pada sahabatnya itu.
Lagi.
Shireen terpaku lagi dengan pertanyaan Tiwi. Dia bahkan tak pernah ditanya ingin mas kawin apa nantinya.
"Jangan bilang dia nggak tanya itu ke kamu?!" Tiwi mulai gusar.
Shireen terdiam. Ia tak tahu lagi mau menjawab apa.
"Eeum... gimana ya... Mas Guntur nggak bilang apa-apa tentang masalah itu. Yang aku tahu cuma akad nikah yang akan dilaksanakan di KUA setelah itu setahu aku nggak ada rencana apa-apa lagi..."
Tiwi yang mendengar hal itu langsung menepuk dahinya gemas.
"Sontoloyo, Reen!! Dibodohi kamu itu namanya! Masa iya dia nggak tanya kamu mau mas kawin apa?! Dasar cowok sialan! Mau enaknya aja!" Maki Tiwi.
Shireen terdiam. Perkataan Tiwi memang benar. Seminggu lagi mereka akan melaksanakan pernikahan, tetapi tak ada kabar apa pun dari calon suaminya itu. Pun dengan kedua orang tua Guntur.
Belum lagi lusa ia sudah resign bersama Tiwi dari swalayan. Shireen sudah menyusun beberapa rencana. Salah satunya mengadakan pengajian sehari sebelum akad di rumahnya. Belum lagi ia dan Ibunya berencana ke rumah Ardhan untuk mengajak pria itu hadir sebagai orang yang dianggap kepala rumah tangga.
Tapi rencana Shireen tak mulus. Belum saja selesai berkutat dengan pengajian dan juga ke kediaman Ardhan, sahabatnya menambah beban pikirannya dengan mengingatkan uang pemberian calon suami dan mas kawin.
"Tapi, Wi... Kami kan nggak ngadain acara di rumahku. Jadi wajar kan kalau Mas Guntur nggak kasih uang?" Shireen bertanya lagi sambil duduk di bangku panjang. Ia seakan mendapatkan pembelaan kenapa Guntur tak memberikan ia uang untuk mempelai wanita.
Tiwi yang mendengarnya pun kini menggenggam jemari sahabatnya itu.
"Ini bukan karena kamu akan mengadakan acara atau nggak. Seenggaknya, kalau pun kamu akhirnya nggak mengadakan acara, uang itu bisa jadi peganganmu. Kamu yakin Reen? Kamu masih mau meneruskan semuanya? Aku nggak yakin sama dia." Tiwi mengingatkan kembali.
"Aku bisa apa, Wi? Aku juga punya pernikahan impian. Tapi kelihatannya nggak akan terjadi di pernikahanku nanti."
"Tapi perlu kamu ingat, Reen. Uang pemberian calon suami itu bentuk penghargaan seorang laki-laki saat menyunting perempuan dalam hidupnya. Ada baiknya kamu bicarakan dengan calonmu itu." Ujar Tiwi lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
SHIREEN & GUNTUR
ChickLitKetika ayah tiri Shireen meninggal, tak sepeserpun warisan diturunkan pada ibunya. Bagi Shireen dan ibunya tak jadi soal. Tapi Shireen tak menyangka hal tersebut juga dialami adik tirinya Muhammad Zein Zulfikar yang merupakan anak kandung dari sang...