.
.
.
.
.3 Tahun lalu...
Shireen beberapa kali menunduk menghindari tatapan dingin Guntur padanya. Shireen bisa merasakan kemarahan pria di depannya itu padanya.
Shireen, Zein dan sang Ibu tengah memenuhi undangan makan malam keluarga Jayantaka di sebuah restoran mewah di tengah kota. Pembahasan malam itu tak lain adalah rencana pernikahan antara Shireen dan Guntur.
Shireen tak lagi memandang isi meja yang kini terhidang sup untuk pembuka makan malam mereka. Shireen sudah tak bisa menggambarkan lagi isi hatinya. Antara bahagia, tegang juga sedih.
Ia bahagia, sebab seminggu setelah insiden Guntur menemuinya di kasir, rupanya orang tua Guntur datang ke kontrakan mereka dengan itikad baik. Shireen begitu amat bersyukur orang tua Guntur mengambil langkah tegas.
Dirinya mulai tegang. Bukan hanya karena tatapan Guntur padanya yang lumayan tajam, tapi juga ia tegang jika nantinya menjadi isteri Guntur, ia harus menyiapkan mental mendampingi pria itu sebagai isteri seorang CEO.
Sedih. Shireen cukup sedih. Pernikahan ini diawali oleh kejadian tak mengenakkan. Shireen tahu wajah Guntur yang menunjukkan sisi dinginnya itu karena tak rela ia menikah dengan Shireen. Shireen paham Guntur memang tak mencintainya. Tapi Shireen bersumpah dalam hati akan menjadi istri yang baik hingga Guntur bisa balik mencintainya.
"Dimakan, Shireen."
Shireen mendongkak. Ia menatap wajah Mama Guntur yang begitu teduh.
"Oh... iya, Tante..." jawab Shireen.
Dirinya menatap sebuah soup yang ada di mangkuk porcelen putih dan sebuah roti gandum di sisi soup. Shireen mulanya merasa kebingungan. Tapi tanpa pikir panjang, ia celupkan roti itu ke dalam soup hangat itu.
Hal yang ia lakukan sukses membuat Guntur mendengus. Matanya langsung memandang Shireen penuh cela. Shireen yang paham pun menengok kepada sang Ibu dan adik. Dia tahu bahwa Ibunya dan Zein lebih berpengalaman menghadapi makan malam mewah seperti ini ketimbang dirinya.
Benar saja. Walaupun Ibunya hanya istri kedua di keluarga Zulfikar, Ibunya bisa makan dengan anggun. Begitu pula dengan Zein. Sedang dirinya? Shireen sejak kecil tak pernah diajak sang Ayah tiri ke restaurant mewah macam ini. Jadi dari mana ia punya pengalaman?
Melewati soup, kini terhidang sebuah steik sapi ukuran yang lumayan besar bagi Shireen. Dirinya terlebih dahulu menengok kepada sang adik untuk melihat bagaimana cara memotong makanan yang tersaji di piring itu. Rupanya matanya yang melirik gerak-gerik Zein tengah diamati oleh Guntur.
"Kamu nggak pernah makan steik?" Tanya Guntur dengan nada meremehkan.
Semua orang yang tengah makan di meja itu sontak terdiam dan memandang Shireen. Tak tahu harus mengatakan apa, ia sadari dua tangan sudah berada di sisi kanan kirinya memegang jemari yang baru ia turunkan ke atas pangkuannya.
Ia tersenyum melihat tangan Ibunya dan Zein menggenggam jemari Shireen dengan kuat.
"Shireen memang sederhana anaknya. Dia memang tidak biasa demgan jamuan mewah semacam ini." Sang Ibu membela Shireen untuk menjelaskannya pada Guntur.
Guntur memamerkan seringainya. Ia letakkan pisau dan garpunya. Ia lap pelan mulutnya dengan sapu tangan.
"Bukannya memang dia nggak pernah dibawa Ayahnya Ardhan ke setiap undangan makan malam ya? Setahuku dia cuma anak tiri yang nggak berguna di keluarga Zulfikar."
"GUNTUR!"
Geraman suara sang Papa membuat Guntur hanya menaikan kedua alisnya. Seolah apa yang ia katakan itu sesuai dengan kenyataannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
SHIREEN & GUNTUR
ChickLitKetika ayah tiri Shireen meninggal, tak sepeserpun warisan diturunkan pada ibunya. Bagi Shireen dan ibunya tak jadi soal. Tapi Shireen tak menyangka hal tersebut juga dialami adik tirinya Muhammad Zein Zulfikar yang merupakan anak kandung dari sang...