27

3.7K 214 130
                                    

Warning!! 17+

Sidang.

Satu kata ini lagi-lagi mendarat di kepala Guntur dengan apiknya.

Bukan tanpa alasan ia sudah menghela nafas jengah. Terlebih mendapat death glare dari seorang wanita yang berstatus sepupunya. Mawar Jayantaka.

"Sehat, Mas?"

Guntur mendongkakkan kepala saat seseorang menyapanya di bangku terdakwa.

"Alhamdulillah sehat, Bian." Jawab Guntur sambil memperlihatkan senyum ramahnya.

Ya. Kali ini hanya Biantara saja, seorang pilot tampan yang bertaus suami Mawar yang dengan ramah menyapanya di ruangan itu.

Sedangkan Mawar sendiri?

Wanita itu hanya memalingkan wajah dan berfikir bahwa Guntur adalah panci gosong yang tidak perlu mendapatkan sapaan hangat. Tuduhan itu bukannya tak beralasan. Buktinya Mawar dengan senyum ramah dan sifat ceria juga hangatnya itu bisa bercipika-cipiki ria dengan semua orang termasuk orang tuanya. Kecuali dia.

"Sudah lama Mas sampai di Indonesia? Kenapa tidak mampir?" Bian bertanya tenang sambil duduk. Persis di dekatnya.

Guntur setidaknya cukup senang kali ini, karena yang duduk di dekatnya adalah Biantara. Ia tahu, setidaknya Biantara adalah orang yang mempunyai status netral, dimana pria itu tak menghakimi ataupun memihak.

"Sudah hampir tiga minggu. Iya, aku mohon maaf. Karena pekerjaan dan urusan pribadi, aku belum sempat menyapa kalian. Ohya, dimana Mahesa?" Tanya Guntur kala tak mendapati keponakannya yang merupakan darah Bratadikara tersebut.

"Kami titip di Mas Bara dan Mbak Yanti, Mas. Kalau acara penting seperti ini, takut menggangu jika bawa bayi." Jelas Bian lagi.

Bayi. Ketika Bian menyebut kata bayi, Guntur langsung mengingat buah hatinya, Danu. Selagi Bian diajak mengobrol oleh kerabat lainnya, Guntur langsung membuka ponselnya. Sebuah nomor ia cari untuk dihubungi. Ketika ia temukan, segera ia mengetikkan pesan di nomor itu

Guntur
"Assalamualaikum. Reen, aku akan terlambat menemui Danu hari ini. Ada pekerjaan penting yang tidak bisa ditunda. Nanti mau dibawakan apa? Vitaminmu minggu lalu kulihat hampir habis. Buah-buahan di kulkas juga sudah menipis, kan?"

Guntur dengan cepat mengirim pesan itu. Setelahnya, ia tak lagi menaruh ponselnya di saku. Ia taruh dengan apik di atas meja. Belum satu menit, ia sudah cek kembali apakah sudah ada pesan balasan. Melihat belum ada bunyi pesan masuk, Guntur mengecek lagi ponselnya bahwa tidak dalam keadaan senyap.

TING!

Satu bunyi langsung membuat Guntur dengan cepat mengangkat ponselnya kembali sambil tersenyum.

Mamanya Danu
"Waalaikumsalam. Nggak apa, Mas. Kalau mau menengok Danu sore nanti, ke rumah Bang Ardhan saja, Mas. Tidak usah repot, Mas. Stok dari Bang Ardhan masih banyak."

Guntur mengernyitkan dahi. Entah mengapa ada rasa tak suka jika Shireen mendapatkan perhatian bukan dari dirinya seorang. Dahulu Shireen memang mandiri karena hubungannya dengan sang kakak sangat buruk.

Berganti dengan damai, justru Guntur yang tak nyaman. Selain karena ibu dari bayinya harus berbagi asi dengan anak Ardhan, ia pun selalu dibalap oleh sahabatnya itu untuk sekedar menyenangkan hati seorang Shireen Amanda.

Karena Guntur tahu rasa ini. Dari pada rasa cinta dan rindu yang dibalut benci, ia lebih tak tenang jika Shireen dengan keadaannya sekarang mendapatkan bantuan dari orang yang bukan dirinya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 09 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

SHIREEN & GUNTURTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang