3 tahun lalu
.
.
.
.
."Ini. Ini hanya uang muka. Kau bisa memindahkan Ibumu ke bangsal rumah sakit yang lebih baik agar tidak seruangan dengan penderita TBC. Juga termasuk biaya SPP Zein. Ingat! Tidak ada makan siang gratis. Minggu depan aku akan mengadakan acara. Hadirlah. Tunjukkan padaku kau memang berminat dengan Guntur. Sisanya aku yang urus."
Shireen memandang uang sejumlah lima puluh juta di rekeningnya. Seumur hidupnya ia tak pernah melihat uang sejumlah itu secara langsung.
Ia sudah mulai membagi, untuk apa saja uang itu. Selayaknya sekarang. Ia sudah tenang ketika ia berhasil memindahkan sang Ibu ke bangsal yang lebih baik demgan menggunakan fasilitas umum dengan obat paten. Ia sudah menghitung segalanya. Jika sang Ibu bisa keluar dari rumah sakit kurang dari seminggu, sisa uangnya bisa belikan motor matic second untuk sang adik.
"Assalamualaikum. Mbak!"
Shireen menengok ke arah pintu. Ia tersenyum kala sang adik dengan memakai seragam SMAnya masuk terburu-buru ke dalam ruangan. Zein langsung meraih tangan sang kakak dan menyalaminya. Ia pun langsung menarik kurai untuk duduk di sisi sang Ibu.
"Kok kita pindah kesini, Mbak? Memangnya boleh ya?"
Shireen tersenyum dan mengusap gemas rambut adiknya.
"Nggak pakai BPJS. Pengobatan kali ini pakai umum, karena Ibu harus pakai obat yang paten. Ohya, ini..." Shireen mengeluarkan lima lembar uang berwarna merah dan ia angsurkan pada adik kesayangannya itu.
"Lunasi SPPnya. Kamu bisa ikut ujian semester minggu depan. Sisanya bisa kamu belikan perlengkapan sekolah." Ujar Shireen.
Zein yang melihat uang di tangan Shireen tak langsung mengambilnya. Ia seolah menatap penuh tanya pada sang kakak.
"Nggak usah banyak mikir. Mbak pinjam sama Bang Ardhan." Tipu Shireen.
Setelah mendengar penjelasan Shireen, Zein baru mengambil uang itu.
"Termasuk biaya rumah sakit?" Tanya Zein lagi memastikan.
Shireen mengangguk pasti.
"Gimana cara bayarnya, Mbak?" Zein berbisik.
Shireen tersenyum.
Ya, Benar.
Siapa pun pasti akan bertanya bagaimana cara ia membayarnya. Terlebih Zein dan Ibunya yang masih belum sadar sepenuhnya tidak tahu jumlah uang yang didapatkan Shireen. Pun dengan tujuan apa uang itu diberikan secara cuma-cuma.
"Potong gaji, kok. Jangan khawatir. Yang penting Ibu bisa dirawat, kamu juga sekolah dengan tenang." Jawab Shireen yang membenahi barang yang belum selesai ia beresi karena pindah ruangan hari ini.
"Alhamdulillah... Bang Ardhan baik juga ya Mbak mau pinjami kita."
Ya.
Sangat baik.
Sebisa mungkin Ardhan menggunakan Shireen sebagai pion untuk menyerang Guntur.
"Iya, kan Mbak sudah bilang. Kakak kita itu aslinya baik kok. Kamu saja yang takut duluan..." lagi-lagi Shireen tak jujur.
Bekerjasama dengan Ardhan adalah menyerahkan nyawa. Dengan jelas sang kakak tiri menginginkannya untuk menggapai hati Guntur. Shireen masih belum lupa, perjanjian itulah yang mendasari dirinya terlena dengan uang sejumlah lima puluh juta tersebut.
Bohong kalau ia tak takut pada Ardhan. Ia sangat takut. Bagaimana jika ia tak bisa menarik perhatian Guntur? Bagaimana jika pria tampan itu tak meliriknya smaa sekali? Pakai apa ia mengembalikan uang itu?
KAMU SEDANG MEMBACA
SHIREEN & GUNTUR
ChickLitKetika ayah tiri Shireen meninggal, tak sepeserpun warisan diturunkan pada ibunya. Bagi Shireen dan ibunya tak jadi soal. Tapi Shireen tak menyangka hal tersebut juga dialami adik tirinya Muhammad Zein Zulfikar yang merupakan anak kandung dari sang...