14. Denial

3.4K 406 93
                                    

Sekitar pukul tujuh pagi, Sky mendengar suara ketukan pada pintunya hingga tak berselang lama sosok Angel hadir di balik pintu. Wajah yang tadinya tampak bingung kini mengulas senyum kecil seakan menyambut Angel yang mulai memasuki kamarnya.

"Sayang, kamu udah siap ya? Bunda bawa ini," Angel menyodorkan sebuah paper bag bercorak cokelat. Sky menerimanya dengan ekspresi bertanya. "Bunda beli waktu di Milan. Kayaknya kamu bakal suka jadi Bunda beli."

Sky mengukir senyumnya. "Makasih, Bunda. El pasti suka." balasnya dengan senyum lembut.

Angel tersenyum, tangannya lalu beralih menangkup kedua pipi putranya dengan halus. "Maafin Bunda buat yang tadi subuh, ya? Bunda cuman kaget liat muka kamu tiba-tiba banyak lebamnya, Bunda jadi gak bisa ngontrol diri. Maafin Bunda ya, nak?" ucapnya terlihat sungguh-sungguh.

Bagaimanapun cara Angel memperlakukannya, Angel tetaplah Ibunya. Wanita yang telah melahirkannya dan membesarkannya hingga Sky mencapai usia dimana dirinya telah mampu menjadi perisai untuk Angel.

Sky meraih tangan sang Bunda yang berada di pipinya, kemudian mengusapnya dengan lembut. "Iya, Bunda. El udah maafin walaupun Bunda nggak datengin El sekalipun."

Angel tersenyum. "Yaudah kamu cepet-cepet ke bawah, ya? Saudara kamu udah pada nungguin buat sarapan."

Sky menganggukkan kepalanya. "Iya, Bun."

Angel tersenyum lalu mengusap pipi kanan Sky sekali lagi sebelum beranjak pergi. Saat sampai di ambang pintu, Angel kembali berbalik memanggil putranya hingga Sky kembali menoleh.

"El,"

"Iya, Bunda?"

"Jangan bikin keributan lagi, ya? Kasian saudara kamu sebelumnya selalu ribut di meja makan. Jangan nyusahin saudara kamu lagi dan ... jangan malu-maluin Bunda terus, oke?"

Mendengar permintaan sederhana milik Angel entah kenapa Sky merasakan sesuatu menekan dadanya. Walau begitu sebuah senyum tetap terbit pada wajah teduhnya.

"Iya, Bunda." jawabnya dengan senyuman.

Angel tersenyum lalu menutup pintu. Bersamaan dengan itu senyum Sky perlahan memudar dan terganti dengan raut sendu.

Hingga suara dering dari ponselnya mengalihkan perhatiannya. Sky segera mengangkat panggilan itu saat mendapati orang tua dari Ayahnya lah yang menelpon.

"Iya, Oma?"

"Selamat pagi dear,"

"Selamat pagi juga Oma. Selamat pagi untuk Opa juga,"

"Hahaha oke. Kebetulan Opa mu duduk di depan Oma. Oh iya, jadi kapan cucu kesayangan Oma ini akan tinggal bersama kami? Sudah kamu putuskan dear? Oma dan Opa menunggu keputusanmu, baby. Oh, Opa bilang dia juga sangat merindukan cucu kesayangannya, baby."

Senyum di wajah Sky seketika hilang dan tergantikan dengan raut sendu. "Oma El... El masih belum tau. El ... sayang Oma dan Opa, tapi El nggak bisa ninggalin Bunda..."

Terdengar helaan napas panjang dari seberang telepon membuat Sky merasa semakin bersalah. "It's okay dear. Tidak masalah. Tapi, El tau 'kan harus pergi ke mana jika El sudah merasa lelah? Pintu rumah kami akan selalu terbuka untukmu sayang,"

"Oma, maaf."

"No, no no baby, itu hakmu untuk menentukan. Jalani harimu dengan baik di sana, semoga kesayangan Oma ini tidak mendapatkan kesulitan yang menyusahkannya."

"Terimakasih, Oma. El sayang Oma."

"Oma juga, sayang sekali dengan El. Cucu Oma satu-satunya." Sky hanya tersenyum dengan raut sendu. "Baiklah, Cucu Oma pasti harus pergi ke sekolah sekarang. Oma akan menghubungimu nanti lagi, ya, sayang."

SKYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang